JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai Ketua DPR RI Setya Novanto melakukan blunder.
Hal itu terkait langkah Novanto melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa pemanggilan dirinya perlu seizin Presiden.
Dalam surat tersebut, Novanto menyertakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Namun, pada Pasal 245 Ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extra ordinary crime. Jadi tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK," kata Refly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).
(Baca: Novanto Dipanggil KPK, DPR Kirim Surat Nyatakan Pemanggilan Perlu Izin Presiden)
Ia menilai, pihak Novanto kurang cermat karena hanya melihat satu ayat pada pasal tersebut.
"Saya kira sangat blunder dan menurut saya staf-stafnya tidak membaca ini secara cermat," sambungnya.
Namun, kata Refly, terlepas dari perdebatan ini, seharusnya Novanto tetap memenuhi panggilan.
Sebab, seorang pejabat publik seperti ketua DPR diharapkan dapat memberikan contoh yang baik bagi publik.
Dengan kejadian ini, Refly menilai publik justru diberikan tontonan yang membuat semua orang tertawa melalui rangkaian kejadian sepanjang proses hukum Novanto.
Salah satunya saat Novanto diberitakan menderita sejumlah penyakit dan dirawat di rumah sakit.
Padahal, pada saat yang bersamaan ia masih berstatus tersangka kasus korupsi e-KTP di KPK.
"Kita tidak bisa menuduh, tetapi rangkaian peristiwa yang disajikan membuat publik bertanya tanya dan tertawa," ujarnya.
(Baca juga: Ini Isi Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto)
KPK memanggil Ketua DPR Setya Novanto, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Merespons panggilan ini, DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin Presiden.
KPK sebelumnya memanggil Novanto untuk diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi bagi Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, salah satu tersangka kasus e-KTP.
Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan kasus e-KTP untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, Jumat (3/11/2017).
Saat itu, jaksa KPK memutar rekaman pembicaraan antara Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem dan Anang Sugiana Sudihardjo.
Dalam rekaman itu, Anang mengaku bertemu dengan Setya Novanto di Vegas. Tidak jelas apakah tempat yang dimaksud adalah Las Vegas di Amerika Serikat.
Dalam kasus e-KTP, KPK sempat menetapkan Novanto sebagai tersangka karena dia diduga terlibat dalam korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Novanto kemudian mengajukan gugatan atas penetapan tersangka oleh KPK. Hakim praperadilan, Cepi Iskandar, dalam putusannya menyatakan, penetapan tersangka Novanto dalam kasus e-KTP oleh KPK tidak sah.