JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan dua hal yang harus menjadi perhatian dalam merevisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang telah disetujui DPR.
"Ya kalau mau direvisi, dua saja cukup. Satu mengenai sanksi pidana yang tidak terlalu penting. Kedua, proses pengambilan keputusannya," ujar Jimly, saat ditemui di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2017).
Jimly menjelaskan, seseorang yang menjadi anggota suatu ormas, sebelum dibubarkan pemerintah tidak bisa dipidana karena hal tersebut bukan merupakan kejahatan.
Kecuali, seseorang yang menolak ormasnya dibubarkan setelah terbukti melakukan pelanggaran.
Baca juga : Demokrat Serahkan Draf Revisi UU Ormas ke Pimpinan DPR
Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 82A Ayat (2) dan Ayat (3) UU Ormas.
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota dan atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Hukuman pidananya mulai dari seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Selain itu, anggota ormas anti-Pancasila dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Pidana yang diancam kepada anggota dari Ormas yang waktu belum dibubarkan, itu kan masih sah, bukan kejahatan. Kecuali, kalau sanksi pidana terhadap orang yang menolak dibubarkan, sudah dibubarkan, tapi masih saja, itu lain Sanksi pidananya sah," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Baca juga : SBY: Alhamdulillah, Pak Jokowi Bersedia Revisi UU Ormas
Selain itu, Jimly juga menyoroti peran pengadilan dalam membubarkan suatu ormas.
Menurut dia, UU Ormas tidak boleh menghilangkan ketentuan pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan.
"Proses pengambilan keputusannya harus mengembalikan peran pengadilan. Intinya biarlah proses hukum pengadilan mendahului keputusan administrasi," kata Jimly.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) sebagai undang-undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Fraksi yang pro dan kontra terhadap penerbitan Perppu Ormas tidak dapat mencapai kata sepakat meski proses lobi dilakukan selama dua jam, hingga akhirnya rapat paripurna menetapkan mekanisme voting.
Sebanyak tujuh fraksi menerima perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.
Meski demikian, fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.
Sementara, tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.