KETIKA Cindy masih berusia 15 tahun, ia menyaksikan sebuah pembunuhan di depan sekolahnya saat siang terik. Sekelompok preman sedang berkelahi, dan korbannya, seorang pemuda yang hanya sedikit lebih tua dari Cindy, tewas tertusuk.
Tidak seorang pun membantunya. “Urusan preman, lebih baik tidak ikut campur. Sewaktu polisi datang, hanya ada jenazahnya yang tergeletak,” ujar Cindy.
“Saat-saat seperti itu, membuat saya teringat pesan ibu saya. Serahkan semua ke Gusti Allah,” katanya.
Mengenakan tas tangan dan sepatu kets merah muda, jaket denim, dan legging hitam, Cindy yang berusia 28 tahun memperlihatkan pembawaan yang lincah dan seketika itu memenuhi ruangan.
Kami duduk di sebuah café hipster yang menyediakan macchiato dan cheesecake di Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat. Dirancang dan dibangun oleh kolonial Belanda pada awal 1900an, kota ini masih menyimpan nuansa ‘de Stijl’ modernis yang menjadi ciri khasnya lebih dari seratus tahun kemudian.
Sambil mengamati sekelilingnya, Cindy menceritakan tentang Kopo, salah satu kawasan di Bandung Selatan, tempat dia melalui masa kecilnya. “Awalnya, Kopo itu lingkungan yang keras,” dia mulai bercerita.
Kehidupan keluarga Cindy menurutnya biasa-biasa saja. Ayahnya memiliki industri rumahan, membuat sepatu. Ada masa di mana produksi sepatu ayah dia cukup sukses dengan enam karyawan.
"Rumah kami sangat ramai saat itu, karyawan saling mengobrol dan selalu terdengar suara palu. Ayah saya duduk di kursinya sambil mengawasi pekerja,” kata Cindy.
Namun ada banyak persaingan di sana, sering muncul kecemburuan di antara sesama produsen sepatu. "Suatu kali pernah terjadi kerusuhan dan orang-orang datang menggedor pintu kami. Ayah saya terluka saat melindungi kami. Setelah kejadian itu, dia keluar dari bisnis itu,” Cindy mengenang.
Mungkin karena latar belakang yang sulit ini, ayah Cindy mendorongnya untuk menjadi lebih “berani”.
“Saya tumbuh menjadi anak yang tomboy!” ucapnya. Ayah Cindy mendandaninya dengan kaos Power Rangers dan celana panjang. Dia memotong rambut Cindy pendek.
"Saya sering memanjat pohon dan bermain kasar dengan anak-anak laki-laki lainnya. Ia menginginkan saya jadi berani dan kuat,” kata Cindy.
Saat mengagumi penampilan Cindy yang terlihat cukup teliti memilih apa yang akan dikenakannya, saya pun penasaran apakah penampilannya hari itu karena dari pengaruh ‘maskulinitas’ selama bertahun-tahun.