JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli yang diajukan oleh presiden atau pihak pemerintah dalam sidang sidang uji materi terkait pansus hak angket KPK, Maruarar Siahaan, berpendapat bahwa pembentukan pansus hak angket KPK di DPR sarat dengan kepentingan politik.
Menurut Maruarar, pembentukan pansus tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi yang tengah diusut oleh KPK. Terlebih lagi, ketua Pansus Hak Angket, yakni Agun Gunanjar, tersangkut dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
"Seandainya pansus itu tidak mengalir dari penyelidikan KPK, tidak akan ada masalah dalam hal ini. Apalagi yang menjadi ketua pansus saat itu adalah orang yang menjadi pihak yang disidik KPK itu tentu dalam etika berbangsa merupakan suatu konflik kepentingan yang harus menjadi perhatian," ujar Maruarar saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi pasal 79 ayat (3) UU MD3 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017).
(Baca: Ahli Pemerintah Sebut Pansus Angket KPK "Buah dari Pohon Beracun")
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu menilai persoalan yang muncul dari pembentukan Pansus Hak Angket lebih kepada masalah etika.
Maruarar menjelaskan, dilihat dari aspek norma hukum, KPK merupakan obyek dari hak angket sebagaimana diatur dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3. Pasalnya, KPK merupakan alter ego atau pribadi yang lain dari kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntutan.
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyatakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(Baca: Diancam Panggil Paksa oleh Pansus Angket, Ini Tanggapan KPK)
Hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.
Maruarar menegaskan, penjelasan pasal 79 UU MD3 bukan merupakan satu hal yang limitatif, sebab penjelasan tidak boleh membentuk norma melainkan hanya memberi contoh yang harus terbuka dengan obyek pengaturan yang lain.
Namun yang menjadi persoalan, kata Maruarar, proses pembentukan pansus hak angket tidak merujuk pada syarat-syarat dalam tata tertib.
"Dan di dalam UU MD3 Polri dan Kejakgung adalah bagian dari hak angket itu. Maka bagaimana bisa KPK tidak tunduk daripada pengawasan. Oleh karena itu saya mengatakan bahwa secara substantif norma yang mengatur hak angket dalam UU MD3 konstitusional. Jadi ini lebih kepada masalah etik," kata Maruarar.
(Baca: Menurut Pansus Angket, Ini Penyebab Ketidakhadiran KPK di RDP)
Pembentukan Pansus Hak Angket KPK berawal pada saat pembacaan kesimpulan rapat yang dibuat oleh Komisi III DPR, 18-19 April 2017.
Dari empat kesimpulan, pimpinan KPK mempersoalkan salah satu poin di mana Komisi III meminta KPK melakukan klarifikasi dengan membuka rekaman BAP atas nama Miryam S. Haryani tentang ada atau tidaknya penyebutan sejumlah anggota dewan.
Meski pimpinan KPK menolak, namun Komisi III tetap mendesak dan menyampaikan akan melakukan angket.
Dalam perjalanannya, Pansus Hak Angket juga sempat mengirimkan surat kepada KPK untuk menghadirkan Miryam untuk diperiksa oleh pansus angket.