PRIBUMI dan non-pribumi. Sudah cukup lama rasanya terminologi ini absen dari khasanah tulis menulis, media, pidato, artikel ataupun perpolitikan nasional. Benar masih ada tapi hanyalah sepoi angin lewat saja.
Apalagi didukung oleh Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tegas-tegas berjudul: “Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara Pemerintah.”
Sumber resmi dari kepustakaan Kepresidenan Republik Indonesia.
Hari kemarin, Senin tanggal 16 Oktober 2017 dalam forum resmi nasional, pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, beberapa kali menegaskan dan menekankan kepribumian ini.
"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan (dijajah). Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Anies, dalam pidato politiknya di Halaman Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/10/2017) malam.
Baca juga: Anies: Janji Kemerdekaan Harus Lunas untuk Warga Jakarta
Sontak netizen bereaksi beramai-ramai di seluruh linimasa media sosial. Istilah yang sempat populis ini kembali diperbincangkan.
Populisme dalam politik bukanlah barang baru. Para ahli ilmu sosial politik sendiri mengalami kesulitan mendefinisikan mahluk ajaib bernama populisme ini.
Mengutip dan menyarikan beberapa literatur tentang populisme, Isaiah Berlin mengatakan, “Memang ada sebuah sepatu berbentuk populisme, namun tak ada satupun kaki yang cocok mengenakannya.”
Paul Taggart mengumpamakan bahwa populisme seperti bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di mana dia berada.
Margaret Canovan (1981) mendefinisikan dan membagi populisme dalam tiga bentuk. Ketiga bentuk populisme dan ditambah populisme keempat khusus versi Indonesia, dikemas dengan apik dalam pidato tersebut.
Pertama, populisme wong cilik. Ini seakan-akan berorientasi kepada para rakyat kecil untuk mencapai tujuan politiknya. Seakan berpihak kepada wong cilik, pengusaha kecil, mengondisikan prasangka terhadap pengusaha dan pemerintah adalah jenis ini.
Ciri khas jenis ini adalah memuja “kejayaan masa lalu” dan meratapi masa kini. Segala jenis kebijakan pemerintah dicerca dengan berbagai mantera ajaib “neolib”, “kapitalisme”, “kesenjangan sosial” dan lagi-lagi benturan yang digaungkan “pribumi – non pribumi”.
Kedua, populisme otoriter yang berharap lahirnya pemimpin kharismatik. Pemimpin yang seakan akan memimpin di garis depan “peperangan” melawan kapitalisme, asing-aseng, pengusaha besar.
Kemasan populisme ini akan melahirkan pemimpin yang seakan-akan terpilih secara demokratis tapi bukan berdasarkan rasionalitas politik, melainkan karena isu-isu sensitif lainnya. Dalam hal ini isu agama, sentimen etnis, asing-aseng, hantu palu arit kebangkitan PKI dsb.
Ketiga, populisme revolusioner yang mengemas ide-ide kolektif ketidakadilan sosial, ketimpangan sosial, kelesuan ekonomi, nasionalisme semu, dominasi elite politik, pemerintah otoriter.
Oleh karenanya pengusung populisme jenis ini menyerukan semua ketimpangan dan ketidakadilan itu harus diruntuhkan oleh sosok pemimpin revolusioner yang (dianggap) mewakili kepentingan rakyat.
Yang mungkin terlewat oleh para pakar ilmu sosial politik kelas dunia itu adalah ada yang keempat, (yang mungkin) khusus di Indonesia yaitu populisme primordial. Definisi primordialisme adalah: sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Sumber Wikipedia.
Dalam hal ini yang terkuat adalah primordialisme agama. Kita semua mafhum apa yang terjadi beberapa tahun belakangan semenjak Pilpres 2014 sampai sekarang yang baru lewat Pilgub 2017.
Baca juga: Faktanya, Semua Orang Indonesia "Imigran", Tidak Ada yang Pribumi
Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Lihat di Wikipedia.
Mengutip lebih jauh dari Wikipedia, istilah "pribumi" sendiri muncul di era kolonial Hindia Belanda setelah diterjemahkan dari inlander (bahasa Belanda untuk "pribumi").
Istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara kala itu, terutama untuk tujuan diskriminasi sosial.
Selama masa kolonial, Belanda menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat: ras kelas pertama adalah "Europeanen" ("Eropa" kulit putih); ras kelas kedua adalah "Vreemde Oosterlingen" ("Timur Asing") yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah "inlander", yang kemudian diterjemahkan menjadi "pribumi".
Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik di Afrika Selatan di bawah apartheid, yang melarang lingkungan antar-ras ("wet van wijkenstelsel") dan interaksi antar-ras yang dibatasi oleh hukum "passenstelsel".
Pada akhir abad ke-19 Pribumi-Nusantara seringkali disebut dengan istilah Indonesiërs ("Orang Indonesia").
“Tidak ada gen murni Indonesia,” kata Prof Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam seminar Kebinekaan, Warisan Budaya Nusantara, yang diadakan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jabodetabek, di Jakarta, Selasa (16/5).
Di luar banyak etnis Indonesia yang jumlahnya sudah ratusan sendiri, para pendatang dari luar terbesar terdiri dari tiga etnis: India, Tionghoa dan Arab; yang datang secara bergelombang dari berbagai kurun waktu ke berbagai tempat di seluruh penjuru Nusantara.
Secara umum, genetika orang Indonesia kira-kira adalah 74 persen Asia Tenggara dan Oseania, 9 persen Asia Selatan, 5 persen Asia Timur, 6 persen Arab, dan 6 persen Afrika.
Jadi, tidak ada satupun etnis di Nusantara yang memiliki galur genetika murni single ethnic.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.