JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil Rohingya yang telah meningkat sejak Jumat, 25 Agustus 2017.
Staf advokasi internasional YLBHI Jane Aileen mengatakan, berdasarkan data International Organization for Migration (IOM), lebih dari 18.500 pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh, dan lebih dari 100 orang meninggal dalam konflik bersenjata yang terjadi.
Oleh sebab itu, Jane mendesak pemerintah Indonesia dan Myanmar segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.
"Indonesia dan Myanmar harus segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional dalam menanggapi kekerasan tersebut," ujar Jane kepada Kompas.com, Minggu (3/9/2017).
(Baca: Tokoh Agama Buddha Indonesia Serukan Bantuan untuk Rohingya)
Jane menjelaskan, pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal tersebut secara jelas diatur dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 60/1.
Sementara itu, tim pencari fakta PBB yang dipimpin oleh Koffi Annan mengungkapkan tindakan persekusi, diskriminasi dan perlakuan terhadap minoritas Rohingya telah mencapai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Oleh karena itu, kasus Rohingya perlu ditangani dengan menggunakan perspektif dan mekanisme hak asasi manusia internasional. Pelaku kekerasan, lanjut Jane, harus dituntut berdasarkan hukum pidana internasional atas kesalahan mereka dan korbannya harus mendapatkan pemulihan.
Selanjutnya, di bawah Resolusi yang sama, Pemerintah Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional berkewajiban mendorong dan membantu Myanmar untuk melaksanakan tanggung jawab dan mendukung PBB dalam membangun peringatan dini.
(Baca: Jokowi: Menangani Masalah Myanmar Tak Cukup dengan Kecaman)
"Isu kedaulatan dan urusan dalam negeri tidak berlaku lagi karena kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan adanya kewajiban yang mengikat secara internasional (erga omnes). Kami percaya bahwa perdamaian esensial di Myanmar terutama di Rakhine hanya dapat terwujud apabila Pemerintah Myanmar mengakhiri persekusi terhadap Rohingya," kata Jane.
Jane menuturkan, kekerasan terhadap minoritas Rohingya dan arus pengungsi yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari persekusi berkepanjangan terhadap mereka yang masih belum ditangani oleh Pemerintah Myanmar.
Hal ini dibuktikan dengan Pemerintah Myanmar yang mengevakuasi setidaknya 4.000 warga non-Muslim dari Rakhine Barat Laut, namun meninggalkan etnis Rohingya tanpa perlindungan sehingga memaksa mereka untuk melarikan diri ke Bangladesh.
(Baca: Ketua TPF Rohingya: Myanmar Batalkan Tuntutan terhadap 8 Jurnalis)
"Kami memahami bahwa kekerasan bersenjata terhadap Rohingya dipicu oleh serangan kelompok bersenjata di negara bagian Rakhine terhadap 12 pos perbatasan yang menewaskan 12 petugas keamanan. Yang sangat kami kecam adalah serangan balik yang dilakukan tanpa membedakan antara kelompok bersenjata dan warga sipil, yang tidak ikut ambil bagian dalam pertempuran," ucapnya.
Diketahui, kekerasan mematikan semakin memburuk di negara bagian Rakhine, Myanmar, dengan hampir 100 orang tewas.
Korban tewas meningkat karena bentrokan bersenjata antara tentara dan militan Rohingya berlanjut untuk hari ketiga, Minggu kemarin, seperti diberitakan kantor berita Perancis, AFP, dan media Inggris, The Guardian.
Pemerintah telah mengevakuasi setidaknya 4.000 warga desa non-Muslim di tengah bentrokan yang berlangsung di Rakhine barat laut. Ribuan Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.