Cara kita menganggit pengetahuan hari ini, berbeda jauh dengan para pendahulu. Hidup yang serba mudah, membuat kita sulit memahami bahwa segala sesuatu ada maksud dan tujuannya. Anak-anak manusia yang lahir, jelas membutuhkan bekal ilmu bagi hidup mereka.
Tak semua kita bakal jadi pemimpin. Tak semua kita harus jadi insinyur. Tak semua. Hidup yang pusparagam begini, tak bisa didekati dengan pola dan pendekatan seragam.
Sekolah, harusnya menggunakan pemahaman begini dalam proses belajar-mengajarnya agar menghasilkan manusia pembelajar. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri. Utuh menyeluruh.
Alexander Graham Bell, sang penemu ulung itu, dibesarkan pada era ketika universitas lebih banyak melahirkan sarjana tinimbang ilmuwan, apalagi begawan.
Sementara kita, hidup dalam zaman manakala sekolah dan perguruan tinggi lebih senang melahirkan golongan buruh.
Sudah hampir setengah abad kondisi ini berlangsung sejak perseteruan sengit mazhab Wina dan Frankfurt, namun kita tak jua sadar betapa sekolah hari ini di banyak negara hanya dijadikan penopang industri.
Abad materialisme sungguh benar menggerus kemanusiaan kita. Dalam banyak sendi kehidupan, kita melulu terjebak pada formalitas belaka. Tak pernah menjeluk ke ranah makna.
Sejatinya, pendidikan adalah harapan. Adalah perjuangan. Perlawanan, pada ketidaktahuan kita akan kondisi nyata kehidupan.
Jika kita tahu apa yang sejatinya diketahui, maka hasilnya adalah pengetahuan. Belajar itu menembus batas. Bahkan tak berhenti sampai liang lahat.
Semua kita tumbuh secara usia, kejiwaan, logika berpikir, keyakinan, dan spiritualitas. Pertumbuhan usia, kejiwaan, dan logika berpikir, akan memunculkan watak manusia yang sangat khas. Sulit didedah. Bahkan dengan metodologi penelitian paling rigid sekali pun.
Kita bisa mengerti segala tingkah laku orang per orang hanya dengan mengamati mereka. Namun, jelas itu menghabiskan waktu dan usia.
Semakin kita mengamati, kian nyata terlihat betapa tidak masuk akal pengamatan tersebut. Sementara saat bersamaan, kita tak jua paham dengan diri sendiri.
Saya pernah diajak diskusi oleh seorang kawan asal Jerman. Ia mengakui dirinya agnostik sejak lahir. Pun dengan orangtua dan keluarga besarnya.
Ia tak sepenuhnya menyatakan bahwa Tuhan dan agama hanya omong kosong belaka. Sebaliknya, ia meyakini bahwa pengetahuan yang dimilikinya terkait hal itu, jauh dari memadai.
Buah dari pohon keyakinannya membawa ia pada pencarian sejati tentang kebenaran dan jalan lurus yang sebelumnya telah ditempuh para Nabi dan Rasul Tuhan. Ranah inilah yang disebut spiritualitas.
Andai sebagian besar umat beragama mau bertungkus lumus dalam soal ini, klaim tunggal pemegang kebenaran takkan pernah jadi prahara.
Suatu hari, Lao Tze (600-531 SM) pernah berkata, "Kebaikan dalam perkataan menciptakan keyakinan. Kebaikan dalam pikiran membuahkan kedalaman. Kebaikan dalam memberi menciptakan kasih sayang."
Setiap manusia pasti melewati masa peralihan pada tingkat keyakinan. Percaya atau tidak pada Zat yang adikodrati, keyakinannya itu bakal menghunjam di kedalaman hidup kita, dan mencuatkan rasa kasih sayang.
Di puncak pencapaian spiritual itulah, kita akan mengerti untuk apa semua ini diadakan Tuhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.