"Dan penafsiran sebuah ajaran, kalau tidak melalui pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan," ucapnya.
Baca: Buya Syafii Apresiasi Keberanian Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas
Yusril juga menyoroti Pasal 59 ayat (4) huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan.
Dia menegaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda. Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Pasal 59 mengenai larangan tindakan permusuhan SARA itu sudah diatur dalam KUHP, tapi sanksinya berbeda. Jadi mau pasal mana yang akan dipakai. Hal ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum," kata Yusril.
Baca: HTI Akan Gugat Perppu Ormas ke MK
Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan ketentuan pidana dalam Pasal 82A. Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan Perppu. Sebelumnya, ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU Ormas.
"Ini kan tidak jelas. Di Pasal 59 mengatur hal-hal yang dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di Pasal 82A mengatur pidana yang menghukum orang," ucapnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan