JAKARTA, KOMPAS.com - Sepasang sejoli yang tak lagi muda dengan kaus couple bertuliskan "SKATERS" menarik perhatian saat Kompas.com duduk di pelataran Monas, Minggu (9/7/2017).
Gerak mereka lincah dan penuh semangat di usianya yang sudah melewati setengah abad. Namanya Suherman, usianya 58 tahun. Pasangannya bernama Yati, usianya 50 tahun. Kakek-nenek satu orang cucu ini baru kali pertama ini ke Monas.
Bersama 22 orang rombongan dari Kecamatan Pusakanegara, Subang, Jawa Barat, mereka menyempatkan diri menikmati monumen bersejarah yang dibangun pada masa Presiden pertama RI Soekarno ini.
Menurut Suherman, selain biayanya murah, yang paling penting bisa mengenal sejarah dan mengenang jasa para pahlawan, tidak hanya dari televisi.
Tarif masuk Monas memang terbilang murah meriah. Jika ingin masuk sampai ke bagian "cawan" saja, pengunjung dewasa dikenakan biaya Rp 5.000, mahasiswa Rp 3.000, sedangkan anak-anak hanya membayar Rp 2.000 per orang.
Namun, jika ingin masuk sampai ke puncak Monas, maka pengunjung dewasa dikenakan tarif Rp 10.000, mahasiswa Rp 5.000, sedangkan anak-anak cukup Rp 2.000 saja per orang.
Namun, kali ini Suherman dan Yati belum beruntung mencapai puncak Monas. Baru sekitar pukul 11.00 WIB, tiket untuk sampai ke puncak Monas sudah ludes terjual.
Meski begitu, Suherman dan Yati tetap semangat dan berencana kembali mengujungi Monas bersama keluarga. Lalu, bagaimana kesan pertama mereka berlibur ke Monas meski hanya sampai "cawan" saja?
"Aduh.. mengesankan. Apalagi lihat jalan bawah ya tadi, Pa..," kata Yati.
Mereka berdua juga sempat melihat-lihat diorama yang ada di Monas. Sepakat dengan sang istri, Suherman mengatakan secara keseluruhan kondisi Monas masih cukup bagus.
Suherman menuturkan, yang ada di lorong itu hanya kipas angin besar dengan suara cukup bising. Selain tidak terpasangnya pendingin ruangan, ia juga mengeluhkan pengamanan yang dirasa kurang.
Menurut Suherman, seharusnya ada alat deteksi logam (metal detector) di monumen yang memiliki nilai sejarah tinggi seperti Monas ini.
"Jadi, mestinya ada alat detektor untuk orang-orang yang dicurigai atau membawa tas, untuk pengamanan, karena banyak sekali orang liburan ke sini," ucapnya.
(Baca juga: Kisah di Balik Dua Versi Diorama Supersemar di Monas)
Chiller baru
Penasaran dengan kondisi yang diceritakan, Kompas.com pun bergegas masuk ke bagian dalam "cawan" Monas melalui lorong. Ternyata benar, lorong penghubung pintu masuk ke "cawan" utama cukup panas.
Apalagi di musim liburan seperti saat ini, saat jumlah pengunjung di akhir pekan bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dibandingkan hari-hari biasanya, atau mencapai 10.000 pengunjung per hari.
Nah, beruntung di ujung lorong Kompas.com bertemu Kasubag Tata Usaha UPK Monas, Arista Nurbaya yang tengah 'turun gunung' ikut membantu petugas tiket melayani pengunjung. Arista pun memberikan penjelasan.
Menurut Arista, sistem pendingin di Monas menggunakan sistem sentral. Sejak tahun lalu chiller sistem pendingin Monas rusak, dan hingga hari ini belum diganti.
Adapun yang bisa dilakukan pengelola untuk sementara waktu adalah melakukan perawatan ringan. Namun, pengunjung tidak perlu khawatir. Sebab, kata Arista, proses pengadaan chillersedang berlangsung, dan saat ini tengah proses lelang.
"Kalau berjalan lancar, mungkin sebelum akhir tahun kita akan bisa menikmati Monas seperti dulu. (Monas) Yang kalau kita masuk museum, langsung cesss.. (adem), termasuk di lorong," kata Arista.
(Baca juga: Djarot Usul Diorama di Monas Dilengkapi Tulisan Braille)
Metal detector baru
Lalu, bagaimana dengan pengamanan yang dikeluhkan pengunjung masih kurang?
Arista menjelaskan, standar pemeriksaan yang saat ini dilakukan di pintu masuk yaitu dengan pengecekan fisik. Petugas memeriksa tas pengunjung yang akan masuk ke monumen.
Adapun metal detector saat ini belum terpasang. Namun, alat pengamanan itu nantinya akan dipasang di Ruang Kemerdekaan.
"Jadi, nanti kalau bendera itu sudah ditempatkan di Tugu Monas, nanti kami akan lakukan pengamanan ketat untuk pengunjung-pengunjung yang akan masuk ke Ruang Kemerdekaan khususnya. Dan di situ akan kami pasang metal detector," kata Arista.
(Baca juga: Ahok: Dulu Monas Terawat Enggak? Monas Bagus Sekarang)
Saat ini, pihak pengelola masih memperbaiki vitrine atau lemari-lemari pajang untuk tempat Sang Saka Merah Putih. Pengerjaan fisik vitrine sudah mencapai 75 persen.
Arista mengatakan, setelah fisik lemari selesai, maka suhu dan kelembabannya pun harus dijaga dengan proses dehumidifier.
Alat dehumidier ini didatangkan dari luar negeri. Saat ini alat tersebut masih dalam proses kepabeanan.
Setelah vitrine tersebut jadi, tahap selanjutnya adalah pengecekan oleh ahli konservasi, untuk memastikan lemari pajang itu sesuai untuk menyimpan bendera pusaka.
"Karena bendera pusaka ini sudah sangat rapuh sekali. Meskipun pada 1945 dulu Bu Fatmawati menjahit dengan menggunakan kain yang mungkin paling bagus saat itu, tapi termakan jaman, semakin lama semakin mrepel. Sehingga kondisi penyimpanan itu jangan sampai bikin kondisinya semakin buruk," ujar Arista.
"Setelah mendapat referensi dari ahli konservasi, baru kita berani memindahkan bendera pusaka yang sekarang ada di Istana Presiden," kata dia.
UPK Monas pun menargetkan, penyimpanan bendera pusaka di Tugu Monas bisa dilakukan sebelum 17 Agustus tahun ini.
Namun, apakah Sang Saka Merah Putih atau duplikatnya yang akan disimpan di Tugu Monas, hal itu tergantung referensi dari ahli konservasi.