JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah berjalan hampir satu tahun, MK akan memutuskan permohonan uji materi Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pasal ini mewajibkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU).
Hasil konsultasi yang dilakukan tersebut bersifat mengikat bagi KPU.
Komisioner KPU periode 2012-2017 lantas mengajukan uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa prinsip kemandiriannya terganggu.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dijamin kemandiriannya dalam menyelenggarakan segala bentuk kewenangannya.
Salah satu kewenangan yang dimiliki KPU adalah menyusun peraturan sebagai ketentuan teknis penyelenggaraan pemilu.
"Ketika kewenangan tersebut bergantung dan diintervensi oleh pihak lain seperti DPR dan Pemerintah, tentu saja prinsip kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi terganggu," kata Titi dalam keterangan tertulis, Minggu (9/7/2017).
Ia melanjutkan, terganggunya kemandirian KPU dalam menyusun peraturan, tidak hanya menimbulkan persoalan konsep dan norma saja.
Dalam praktik, proses penyusunan Peraturan KPU telah terbukti dintervensi jauh oleh DPR dan Pemerintah.
Bahkan, tutur Titi, dalam pelaksanaan Pilkada 2017 yang lalu, DPR dan Pemerintah “memaksa” KPU untuk memasukkan ketentuan syarat pencalonan yang memperbolehkan orang yang masih berstatus terpidana.
Hasilnya, terpidana percobaan dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah.
Padahal, menurut Titi, rumusan di dalam Pasal 7 huruf g UU No. 10 Tahun 2016 secara terang mengatur bahwa orang yang bisa dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah adalah yang sudah berstatus sebagai mantan terpidana.
Sehingga orang yang menjalani pidana percobaan, status hukumnya adalah seorang terpidana, dan pastinya belum menjadi mantan terpidana.
Namun, frasa wajib dan mengikatnya KPU untuk mengikuti hasil konsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun PKPU, membuat norma yang melanggar UU Pilkada itu dimasukkan ke dalam PKPU tentang Pencalonan.
Putusan MK besok, kata Titi, tentu akan menjadi fondasi dan penegasan penting bagi kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu.
Kelembagaan penyelenggara pemilu tentu tidak hanya KPU, tetapi juga Bawaslu.
"Putusan MK juga akan memberikan perlindungan dan kepastian terhadap ketentuan mekanisme konsultasi dalam menyusunan Peraturan KPU, di dalam RUU Pemilu yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah," papar Titi.
Ia menyatakan, penyelenggara pemilu yang mandiri, adalah salah satu prasyarat pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Titi menilai, pengalaman konsultasi dalam menyususn Peraturan KPU dalam perjalanannya, justru dijadikan ruang untuk mengintervensi KPU, bahkan memasukkan norma yang terang bertentangan dengan UU.
"Oleh sebab itu, Putusan MK yang memberikan perlindungan dan kepastian terhadap kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu akan membuktikan bahwa MK adalah pelindung konstitusi dan penjaga demokrasi sesungguhnya," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.