Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kohesi Sosial Seusai Pilkada

Kompas.com - 14/06/2017, 15:41 WIB

oleh: Ahmad Fuad Fanani

Kondisi sosial politik dan suasana batin masyarakat Indonesia seusai Pilkada DKI Jakarta 2017 makin mengkhawatirkan. Hubungan antarindividu dan masyarakat tampak terpolarisasi dalam dua kubu.

Berakhirnya pilkada tak jadi akhir dari hubungan yang tidak harmoni antarkelompok dan warga, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Justru kondisi semakin memanas. Jika tidak segera berhenti dan eskalasinya tidak menurun, hal ini mungkin akan terbawa pada pilkada di beberapa tempat pada 2018 dan Pilpres 2019.

Berbagai perbincangan dan debat di media sosial menunjukkan dengan jelas bagaimana kedua kubu pada Pilkada DKI Jakarta terus saling meledek, mem-bully, dan mengklaim kebenaran masing-masing. Polarisasi akibat pertarungan politik itu sangat terasa.

Bahkan, pertarungan itu membawa identitas agama dengan menyalahkan pihak lain yang tak mendukungnya. Agama digunakan untuk melegitimasi kepentingan politik dan menyalahkan pihak lain yang berbeda keyakinan dan pilihan politik. Pihak yang berusaha melerai dan bersikap netral pun kemudian dipertanyakan komitmen keagamaannya.

(Baca juga: Rekonsiliasi Pasca-Pilkada DKI Harus Disertai Aksi Melawan Isu SARA)

Kepentingan sesaat

Dalam situasi dan kondisi demikian, niscaya yang akan jadi korban hanyalah orang-orang kecil yang sebetulnya ingin hidup harmonis dalam keseharian mereka. Sementara yang dapat keuntungan hanya aktor-aktor politik dan para pendukungnya. Rakyat kecil sering menjadi korban propaganda para elite.

Dalam pilkada kemarin, isu agama dan etnis tertentu yang digunakan terbukti manjur dan mengena. Faktanya, pendukung calon tertentu tidaklah benar-benar agamis, seperti yang diklaim, tetapi sarat kepentingan pragmatis. Politik jangka pendek mengalahkan cita-cita kebangsaan dan kerukunan sosial yang berjangka panjang. Sementara di sisi lain, rakyat di akar rumput banyak yang terhasut propaganda telanjur percaya dan menyerahkan harapannya pada elite- elite itu.

Pada situasi yang demikian mengkhawatirkan ini, perlu terus disuarakan tentang pentingnya menjaga solidaritas kebangsaan dan harmoni sosial. Meskipun semua orang-seperti dikatakan Mancur Olson (The Logic of Collective Action, 1965)-punya kepentingan masing-masing dan mencoba untuk memaksimalkan kepentingannya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kita tetap harus optimistis. Kita menyadari adanya penumpang bebas dalam setiap momen dalam hidup, entah terkait politik atau tidak, di mana beberapa orang menggunakan pertimbangan ekonomis dan politis dalam berhubungan dengan yang lain. Namun, masih banyak penumpang baik yang punya kesadaran tinggi yang perlu terus bersuara untuk mengalahkan kepentingan pragmatis tersebut.

Kepentingan politik dan ekonomi memang biasanya bisa mengalahkan segalanya. Terlebih lagi Anthony Downs (An Economic Theory of Democracy, 1957) jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa semua partai politik, pemilih, dan partai pemerintah banyak yang lebih menggunakan pertimbangan rasional. Partai politik dan kandidat butuh dukungan massa agar mereka bisa menang. Pemilih juga mengharapkan kandidat yang memuaskan mereka. Sementara petahana atau partai pemerintah pun mungkin juga menginginkan agar jagoannya terpilih kembali.

Dalam situasi yang demikian itulah tampaknya pilkada DKI kemarin itu berlangsung secara sengit. Alhasil, yang terjadi-atas dasar pertimbangan rasional, politis, dan ekonomis-segala macam isu digunakan dan diramaikan, meski isu-isu itu sangat berbahaya bagi keutuhan dan keharmonisan bangsa ini.

Yang kita butuhkan adalah bagaimana agar kondisi sekarang ini tak makin mengkhawatirkan. Sebelum pilkada kemarin banyak yang berpendapat kondisi ini hanya sesaat karena terkait dengan politik dan akan hilang dengan sendirinya seusai pilkada. Ternyata yang terjadi sebaliknya. Kondisi sosial semakin terbelah, saling menyalahkan terus terjadi, fitnah banyak bertebaran, dan adu kuat antarpendukung menjadi pemandangan sehari-hari.

Ini sebetulnya luka lama yang terkuak kembali. Situasi dan persaingan yang panas antarpendukung pada Pilpres 2014 mengemuka kembali dan saat ini terjadi lebih parah. Kondisi ini mungkin akan terus berlangsung sampai Pilpres 2019 jika pihak-pihak yang terkait tidak mau meluruhkan egonya dan menahan dirinya untuk kepentingan Indonesia masa depan.

Indonesia sesungguhnya punya modal sosial yang bisa diaktualkan untuk mengatasi kondisi yang terjadi. Bangsa ini pada dasarnya bukankah bangsa yang cepat emosi, gampang menyalahkan pihak lain, mudah berdendam kesumat, dan tidak mau bertetangga dengan mereka yang berbeda keyakinan atau pilihan politik.

Bangsa Indonesia sejatinya bukan seperti bangsa-bangsa di Timur Tengah yang tidak sabar berdemokrasi dan gampang tersulut emosi. Bangsa ini dibangun atas dasar kerja sama dan saling percaya antarwarganya yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Meskipun Islam dipeluk mayoritas bangsa ini, umat Islam mengakui keberadaan kelompok lain dan ingin maju bersama. Sejarah para tokoh bangsa ini mengajarkan bagaimana kepentingan sesaat dan sektoral ditundukkan demi kemerdekaan dan kemajuan bersama-sama.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com