JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi terkait syarat dukungan dan ketentuan verifikasi faktual bagi calon perseorangan pada pemilihan kepala daerah.
Uji materi itu diajukan oleh sejumlah pihak, salah satunya "Teman Ahok".
"Teman Ahok" bersama Gerakan Nasional Calon Independen, Perkumpulan Kebangkitan Indonesia Baru, Tsamara Amany, dan Nong Darol Mahmada mengajukan permohonan uji materi pada Pasal 41 Ayat 1, 2, 3 UU 10/2016.
Selain itu, pasal 48 Ayat 2, 7 dan 9 UU 10/2016.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Arief Hidayat dalam sidang putusan yang digelar di MK, Jakarta Pusat, Rabu (14/6/2017).
Pada Pasal 41 Ayat 1 dan 2 UU 10/2016, Pemohon mempersoalkan Frasa "...dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan...".
Sementara pada Pasal 41 ayat 3, Pemohon mempersoalkan frasa "...dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di Provinsi atau Kabupaten/Kota dimaksud".
Menurut Pemohon, frasa pada pasal-pasal itu dapat ditafsirkan bahwa calon gubernur/bupati/wali kota dan calon wakilnya hanya dapat mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan dengan dukungan dari penduduk yang pernah menjadi pemilih dalam pemilihan sebelumnya atau telah berusia 17 tahun pada pemilu sebelumnya.
Padahal, ada banyak penduduk yang baru memiliki hak pilih karena baru saja berusia 17 tahun atau baru menikah, maupun menjadi penduduk pindahan.
Dengan kata lain, warga yang memiliki hak memberikan dukungan terhadap calon perseorangan adalah warga yang namanya atau dentitasnya tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya, bukan warga yang telah memiliki hak pilih.
Menurut MK, jika mengacu pada putusan MK nomor 60/PUU-XIII 2015 jelas menegaskan bahwa aturan tersebut mengacu pada jumlah penduduk yang memiliki hak pilih.
Bukan pada nama-nama orang identitasnya termuat atau tercantum dalam DPT pada pemilihan sebelumnya.
"Menyatakan frasa "dan termuat" dalam pasal 41 Ayat 1 dan Ayat 2 UU 10/2016...tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'tidak mengacu pada nama yang termuat/tercantum dalam DPT melainkan pada jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih," kata Arief.
"Menyatakan frasa 'dan tercantum' dalam pasal 41 Ayat 3 UU 10/2016...tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'tidak mengacu pada nama yang termuat/tercantum dalam DPT melainkan pada jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih," tambah Arief.
Terkait Pasal 48 Ayat 9 UU 10/2016, Pemohon menilai tidak diumumkannya nama-nama pendukung calon perseorangan mengesankan adanya hal yang disembunyikan.
Sebab, sejak awal proses pendukungan calon perseorangan dilakukan secara terbuka baik oleh calon, tim sukses, atau pun pendukungnya.
Oleh karena itu, menjadi aneh jika pada tahap akhir proses ini dilakukan secara tertutup.
Menanggapi itu, MK mempertimbangkan alasan DPR selaku pembuat UU memasukan ketentuan tersebut.
DPR tidak setuju jika hasil verifikasi dibuka ke publik dengan alasan berpotensi menimbulkan kekisruhan.
Selain itu, prinsip kerahasiaan juga perlu dijunjung.
Mahkamah berpendapat, hasil verifikasi faktual pendukung tetap harus diumumkan kepada publik, namun terbatas pada jumlah dukungan yang memenuhi persyaratan calon perseorangan, bukan mengumumkan nama-nama pendukungnya.
Dengan demikian, hak atas informasi publik terpenuhi dan pada saat yang sama kerahasiaan pilihan atau dukungan politik seseorang juga terjamin.
Mengenai kekhawatiran adanya kecurangan atau manipulasi data pendukung, maka calon kepala daerah bisa meminta klarifikasi KPU dan Bawaslu.
"Menyatakan kata 'tidak' dalam pasal 48 ayat 9 UU 10/2016...tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang kata 'tidak' dalam pasal dimaksud dimaknai 'nama-nama pendukung calon perseorangan'," kata Arief.
Untuk pasal 48 Ayat 2 dan 7 UU 10/2016, MK menolak permohonan pemohon. Pasal 48 ayat 2 menyinggung soal data yang dipakai untuk memberikan dukungan kepada calon perseorangan itu berdasarkan DPT pemilu terakhir dan Daftar Potensial Pemilih Pemilihan dari Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Mahkamah, persoalan ini sudah terkait dengan pertimbangan Mahkamah pada pasal Pasal 41 Ayat 1, 2, 3 UU 10/2016.
Sementara terkait pasal 48 Ayat 7 UU 10/2016, pemohon mempersoalkan batasan waktu verifikasi faktual oleh penyelenggara pemilu hanya tiga hari.
Dalam pasal disebutkan bahwa "verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 dan Ayat 5 terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung calon yang dimkasud di kantor PPS paling lambat 3 hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut".
Menurut pemohon, hal ini merugikan haknya. Sebab, pemohon atau warga tidak mengetahui jadual kunjungan PPS untuk melakukan verifikasi faktual.
Menurut MK, hal itu bukan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi atas norma undang-undang.
Sehingga alasan pemohon meminta aturan tersebut dibatalkan tidak beralasan menurut hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.