Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Pembiayaan Pembangunan

Kompas.com - 27/05/2017, 15:57 WIB

oleh: M Ikhsan Modjo

Salah satu tantangan utama dalam pembangunan di Indonesia dewasa ini adalah menemukan sumber pembiayaan pembangunan relatif murah dan berkelanjutan (sustainable).

Tantangan ini tidaklah mudah mengingat besarnya jumlah pembiayaan yang dibutuhkan serta kian tingginya tingkat kompetisi antarnegara dalam mendapatkan dana investasi murah.

Besarnya kebutuhan pendanaan pembangunan bisa disimak, misalnya, dari kebutuhan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur selama 2015-2019, yang perlu kapital sebesar Rp 5.519,4 triliun, atau tak kurang Rp 1.103,9 triliun per tahun. Di samping infrastruktur, Indonesia juga membutuhkan pendanaan lain, baik yang bersifat rutin untuk penyelenggaraan negara maupun untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan rakyat, seperti belanja sosial dan subsidi.

Pada APBN 2017, jumlah dana yang dialokasikan untuk kebutuhan infrastruktur tercatat Rp 194,3 triliun. Adapun yang dialokasikan untuk belanja penyelenggaraan negara, baik yang bersifat belanja pegawai maupun pembelian barang, tercatat Rp 639 triliun. Sementara alokasi belanja sosial dan subsidi tercatat paling rendah, sekitar Rp 170 triliun, yang artinya kurang dari separuh jumlah Rp 400 triliun yang dialokasikan pada 2014.

(Baca juga: Percepat Pembangunan, Pemda Diminta Tak Lupakan Jati Diri Daerah)

Pendanaan infrastruktur

Dari postur kasar alokasi belanja pada APBN ini, tiga hal bisa penting diobservasi. Pertama, jumlah yang mampu dialokasikan negara untuk kebutuhan infrastruktur jauh lebih rendah daripada kebutuhan. Pemerintah hanya mampu menyediakan 17,6 persen dari kebutuhan.

Kedua, semakin membesarnya secara relatif kebutuhan pendanaan untuk penyelenggaraan negara yang bersifat rutin. Ketiga, semakin rendahnya porsi belanja sosial dan subsidi yang dialokasikan pemerintah pada APBN.

Implikasi dari observasi di atas jelas adalah butuh banyak dana tambahan guna mencukupi kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur. Dana ini secara teoretis bisa didapatkan baik dengan memperbesar pembiayaan melalui defisit anggaran maupun dari sumber pembiayaan lain yang berasal dari pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri.Persoalannya, dalam praktik hal ini tidaklah mudah karena ada beberapa hambatan.

Pertama, pembiayaan pembangunan melalui peningkatan defisit anggaran akan menambah efek destabilisasi terhadap APBN yang belum sepenuhnya lepas dari tekanan. Pada 2016, Indonesia mencatat defisit anggaran 2,46 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini, walau lebih rendah daripada realisasi defisit anggaran 2015 yang tercatat 2,80 persen dari PDB, masih sedikit lebih tinggi dari target defisit sebesar 2,35 persen yang ditetapkan sebelumnya.

Lebih besarnya realisasi defisit ini menunjukkan bahwa belum sepenuhnya terpenuhi target penerimaan negara yang ditetapkan, terutama dari sektor perpajakan. Kebijakan amnesti pajak yang digadang-gadang bisa menjembatani gap penerimaan pajak di 2016 hanya menghasilkan penerimaan negara dari denda pajak sebesar Rp 135 triliun, atau kurang dari target sebesar Rp 165 triliun yang ditetapkan.

Lebih jauh, kebijakan ini juga kurang berhasil memperbesar jumlah basis pajak, karena hanya menghasilkan sekitar 48.000 pembayar pajak baru, atau tambahan 0,49 persen dari basis pajak sebelumnya sebesar 9,7 juta. Bisa dipastikan bahwa kebijakan ini tidak akan bersifat sustainable untuk mengerek naik angka penerimaan negara di tahun-tahun ke depan, yang pada gilirannya berisiko pada semakin tertekannya angka defisit anggaran,

Kedua, pembiayaan melalui APBN juga berisiko menaikkan rasio utang Indonesia dengan segala konsekuensinya. Indonesia memang baru saja mendapatkan predikat layak investasi (investment grade) dari Standard & Poor’s, yang di satu sisi akan menurunkan beban biaya bunga dari surat utang yang akan dikeluarkan. Di sisi lain, Indonesia juga sudah mengalami kenaikan rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) yang cukup tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2012, rasio utang terhadap PDB hanya berkisar 22,9 persen, pada 2017 meningkat tajam menjadi 27,9 persen, atau meningkat 0,5 persen dengan total akumulasi utang mencapai Rp 3.589 triliun. Rasio ini memang masih di bawah angka 60 persen yang dianggap aman secara teoretis maupun menurut UU.

Akan tetapi, jangan lupa pada saat yang sama terdapat akselerasi peningkatan utang yang akan berpengaruh terhadap likuiditas domestik. Jumlah utang ini tak termasuk utang tak langsung negara yang diciptakan BUMN, yang juga meningkat dalam dua-tiga tahun terakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKS Pecat Caleg di Aceh yang Ditangkap Karena Kasus Narkoba

PKS Pecat Caleg di Aceh yang Ditangkap Karena Kasus Narkoba

Nasional
Achsanul Qosasi Minta Maaf karena Terima Uang 40 M dari Proyek BTS

Achsanul Qosasi Minta Maaf karena Terima Uang 40 M dari Proyek BTS

Nasional
4 Poin Penting PP Tapera: Syarat Kepesertaan hingga Besaran Iurannya

4 Poin Penting PP Tapera: Syarat Kepesertaan hingga Besaran Iurannya

Nasional
DPR Setujui Revisi 4 Undang-Undang sebagai Usul Inisiatif

DPR Setujui Revisi 4 Undang-Undang sebagai Usul Inisiatif

Nasional
Menyoal Putusan Sela Gazalba Saleh, Kewenangan Penuntutan di UU KPK dan KUHAP

Menyoal Putusan Sela Gazalba Saleh, Kewenangan Penuntutan di UU KPK dan KUHAP

Nasional
Achsanul Qosasi Akui Terima Uang dari Proyek BTS: Saya Khilaf

Achsanul Qosasi Akui Terima Uang dari Proyek BTS: Saya Khilaf

Nasional
Warga Kampung Susun Bayam Keluhkan Kondisi Huntara: Banyak Lubang, Tak Ada Listrik

Warga Kampung Susun Bayam Keluhkan Kondisi Huntara: Banyak Lubang, Tak Ada Listrik

Nasional
Dikonfrontasi Jaksa, Istri SYL Tetap Bantah Punya Tas Dior dari Duit Kementan

Dikonfrontasi Jaksa, Istri SYL Tetap Bantah Punya Tas Dior dari Duit Kementan

Nasional
Bos Maktour Travel Mengaku Hanya Diminta Kementan Reservasi Perjalanan SYL ke Saudi, Mayoritas Kelas Bisnis

Bos Maktour Travel Mengaku Hanya Diminta Kementan Reservasi Perjalanan SYL ke Saudi, Mayoritas Kelas Bisnis

Nasional
Jadi Tenaga Ahli Kementan, Cucu SYL Beralasan Diminta Kakek Magang

Jadi Tenaga Ahli Kementan, Cucu SYL Beralasan Diminta Kakek Magang

Nasional
Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Wakil Ketua MK: Sistem Noken Rentan Dimanipulasi Elite

Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Wakil Ketua MK: Sistem Noken Rentan Dimanipulasi Elite

Nasional
Putusan Bebas Gazalba Saleh Dikhawatirkan Bikin Penuntutan KPK Mandek

Putusan Bebas Gazalba Saleh Dikhawatirkan Bikin Penuntutan KPK Mandek

Nasional
Polemik Putusan Sela Gazalba, KPK Didorong Koordinasi dengan Jaksa Agung

Polemik Putusan Sela Gazalba, KPK Didorong Koordinasi dengan Jaksa Agung

Nasional
Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Hakim MK: Mayoritas Hasil Pemilu di Papua Harus Batal

Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Hakim MK: Mayoritas Hasil Pemilu di Papua Harus Batal

Nasional
UKT Batal Naik Tahun Ini, Pemerintah Dinilai Hanya Ingin Redam Aksi Mahasiswa

UKT Batal Naik Tahun Ini, Pemerintah Dinilai Hanya Ingin Redam Aksi Mahasiswa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com