Jakarta, sebagai barometer politik dan sosial menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya aksi-aksi serupa di wilayah lain.
"Hal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi sebuah fenomena sosial," ucap Devie.
"Mereka pun kemudian dengan percaya diri mengikuti pola yang sama. Kekuatan media sebagai sarana penyampai cerita dan fakta, sebagaimana yang dipertontonkan Jakarta, sebagai lokomotif trend, mendorong warga di daerah daerah lain melakukan imitasi dari perilaku perilaku sosial," jelasnya lagi.
Sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar melihat, banyaknya aksi-aksi massa yang terjadi belakangan menunjukkan masyarakat Indonesia tengah sakit dan kecewa berat.
"Menurut saya, masyarakat kita sedang dalam kondisi sakit. Banyak masalah yang dihadapi, kemudian tidak ada yang memberikan solusi kepada mereka," kata Musni kepada Kompas.com.
Tentu saja ada latar belakang yang berbeda untuk setiap aksi yang dilakukan. Namun, secara umum, masyarakat saat ini memang tengah mudah terprovokasi oleh framing dan stigma.
Ironisnya, kata dia, provokasi ini tak hanya dilakukan oleh para elite politik, namun juga cerdik melalui media sosial mereka, juga para tokoh agama melalui mimbar-mimbar.
Lantas pertanyaannya, apa yang membuat masyarakat begitu mudah terprovokasi? Singkatnya, menurut Musni, faktor pendidikan yang rendah dan tekanan ekonomi.
"Pendidikan kita 76 persen hanya tamatan SMP dan tidak sekolah. Yang seperti ini, sangat mudah diombang-ambingkan dengan isu yang dilempar ke masyarakat," kata Musni.
Selain pendidikan, Musni juga melihat tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat kelas bawah utamanya, membuat mereka menjadi begitu sensitif dan mudah terprovokasi.
Menarik dari kacamata Musni, kekecewaan masyarakat kelas bawah yang tak kunjung merasakan perbaikan ekonomi itu justru ditangkap para elite untuk mencapai tujuan pribadi.
"Tokoh-tokoh lokal juga menggunakan kesempatan untuk mendapatkan dukungan publik," kata dia.
Kekecewaan masyarakat, imbuh Musni, juga muncul karena ekspektasi mereka terhadap kepala daerah atau wakil rakyat yang mereka pilih untuk duduk di Senayan, tidak terealisasi.
"Itu yang membuat mereka mudah diprovokasi, karena kesulitan yang mereka hadapi," ucap Musni.
Lalu, jika virusnya adalah rendahnya pendidikan, tekanan ekonomi, dan pejabat yang membuat kecewa, lantas apa obatnya?