JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi, aksi, dan aksi. Belakangan pemberitaan di media massa lokal maupun nasional riuh dengan berbagai peristiwa aksi, baik berupa aksi dukungan maupun aksi penolakan.
Seolah berbalas, usai aksi berjilid-jilid yang digelar GNPF-MUI hingga vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, belakangan para pendukung Ahok menggelar aksi dukungan.
1.000 nyala lilin untuk Ahok dilaksanakan secara spontan. Malah di Padang, ada seorang perempuan yang hanya sendirian melakukan aksi dukungan "Lilin untuk Ahok".
Nyala lilin untuk Ahok menjalar sampai ke mancanegara. Namun, kebanyakan dari mereka menyatakan, ini bukan soal Ahok, melainkan soal hukum yang bebas dari tekanan massa.
Melalui spanduk dan poster, massa yang menghadang di Bandara Sam Ratulangi menyerukan penolakan terhadap Fahri.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati menjelaskan, sejak era 1970-an, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong masyarakat turun ke jalan untuk mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan perasaannya.
Ketiga faktor tersebut, yaitu ketidaknyamanan, kesempatan, dan kekuatan.
"Ketidaknyamanan timbul karena masyarakat merasa diperlakukan tidak adil. Bagi masyarakat, distributive justice (fairness) kalah penting dibandingkan apakah mereka diperlakukan dengan hormat, apakah sebuah lembaga keadilan dapat dipercaya (procedural justice) dibandingkan dengan keputusan atau hasil dari keadilan tersebut," kata Devie kepada Kompas.com, Senin (15/5/2017).
Selain itu, dia menambahkan, ketidaknyamanan terjadi karena masyarakat selalu membandingkan apa yang diperolehnya dengan orang lain.
Artinya, kata dia, bila kesenjangan besar, maka masyarakat akan merasa diperlakukan tidak adil.
"Teknologi saat ini sangat mudah membantu setiap orang menemukan fakta ketidakadilan. Inilah yang mendorong orang tidak nyaman dan protes," imbuh Devie.
Sementara itu, aksi-aksi turun ke jalan marak terjadi karena adanya kesempatan yang diperoleh dengan pilihan ideologi demokrasi.
Ideologi ini memang memberikan jalan pada seluruh anak kandung demokrasi untuk menyampaikan dengan bebas harapan, impian, dan keinginan masyarakat terhadap sebuah fenomena sosial.
Adapun kekuatan atau sumber daya adalah ketika ada sekelompok masyarakat yang lebih dahulu menyampaikan aspirasi, hal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat lainnya.
Jakarta, sebagai barometer politik dan sosial menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya aksi-aksi serupa di wilayah lain.
"Hal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi sebuah fenomena sosial," ucap Devie.
"Mereka pun kemudian dengan percaya diri mengikuti pola yang sama. Kekuatan media sebagai sarana penyampai cerita dan fakta, sebagaimana yang dipertontonkan Jakarta, sebagai lokomotif trend, mendorong warga di daerah daerah lain melakukan imitasi dari perilaku perilaku sosial," jelasnya lagi.
"Menurut saya, masyarakat kita sedang dalam kondisi sakit. Banyak masalah yang dihadapi, kemudian tidak ada yang memberikan solusi kepada mereka," kata Musni kepada Kompas.com.
Tentu saja ada latar belakang yang berbeda untuk setiap aksi yang dilakukan. Namun, secara umum, masyarakat saat ini memang tengah mudah terprovokasi oleh framing dan stigma.
Ironisnya, kata dia, provokasi ini tak hanya dilakukan oleh para elite politik, namun juga cerdik melalui media sosial mereka, juga para tokoh agama melalui mimbar-mimbar.
Lantas pertanyaannya, apa yang membuat masyarakat begitu mudah terprovokasi? Singkatnya, menurut Musni, faktor pendidikan yang rendah dan tekanan ekonomi.
"Pendidikan kita 76 persen hanya tamatan SMP dan tidak sekolah. Yang seperti ini, sangat mudah diombang-ambingkan dengan isu yang dilempar ke masyarakat," kata Musni.
Selain pendidikan, Musni juga melihat tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat kelas bawah utamanya, membuat mereka menjadi begitu sensitif dan mudah terprovokasi.
Menarik dari kacamata Musni, kekecewaan masyarakat kelas bawah yang tak kunjung merasakan perbaikan ekonomi itu justru ditangkap para elite untuk mencapai tujuan pribadi.
"Tokoh-tokoh lokal juga menggunakan kesempatan untuk mendapatkan dukungan publik," kata dia.
Kekecewaan masyarakat, imbuh Musni, juga muncul karena ekspektasi mereka terhadap kepala daerah atau wakil rakyat yang mereka pilih untuk duduk di Senayan, tidak terealisasi.
"Itu yang membuat mereka mudah diprovokasi, karena kesulitan yang mereka hadapi," ucap Musni.
Lalu, jika virusnya adalah rendahnya pendidikan, tekanan ekonomi, dan pejabat yang membuat kecewa, lantas apa obatnya?
Musni mengatakan, cara mengobati masyarakat yang sakit tentu saja menjadi tanggungjawab pemerintah, yaitu mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara yang telah diatur dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
"Apa itu? Pertama, mau tidak mau pemerintah harus melindungi rakyat dari korban pembangunan. Kedua, memajukan kesejahteraan umum," kata Musni.
"Kalau rakyat enggak sejahtera, gaduh dia, marah dia. Kecuali aksi bakar lilin dan kirim bunga itu. Tetapi demo yang banyak itu, kalau mereka ada pekerjaan, ngapain dia pergi demo?" kata dia lagi.
Terakhir, yaitu mencerdaskan bangsa. Menurut Musni, pemerintah punya pekerjaan rumah yang begitu besar untuk fokus pada pendidikan.
"Enggak ada negara yang maju kalau rakyatnya bodoh seperti sekarang," kata Musni.