Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rentetan Aksi Masyarakat dari Kacamata Pengamat Sosial

Kompas.com - 15/05/2017, 15:18 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi, aksi, dan aksi. Belakangan pemberitaan di media massa lokal maupun nasional riuh dengan berbagai peristiwa aksi, baik berupa aksi dukungan maupun aksi penolakan.

Seolah berbalas, usai aksi berjilid-jilid yang digelar GNPF-MUI hingga vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, belakangan para pendukung Ahok menggelar aksi dukungan.

1.000 nyala lilin untuk Ahok dilaksanakan secara spontan. Malah di Padang, ada seorang perempuan yang hanya sendirian melakukan aksi dukungan "Lilin untuk Ahok".

Nyala lilin untuk Ahok menjalar sampai ke mancanegara. Namun, kebanyakan dari mereka menyatakan, ini bukan soal Ahok, melainkan soal hukum yang bebas dari tekanan massa.

KOMPAS.com / RONNY ADOLOF BUOL Massa berhadap-hadapan dengan barikade polisi di depan pintu masuk halaman VIP Bandara Sam Ratulangi Manado dalam aksi menolak kedatangan Fahri Hamzah di Sulut, Sabtu (13/5/2017). Fahri Hamzah dianggap sebagai sosok yang sering mengumbar pernyataan yang memicu tindakan intoleran.
Ada lagi aksi penolakan terhadap Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Fahri Hamzah yang akan berkegiatan di Manado, pada Sabtu (13/5/2017).

Melalui spanduk dan poster, massa yang menghadang di Bandara Sam Ratulangi menyerukan penolakan terhadap Fahri.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati menjelaskan, sejak era 1970-an, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong masyarakat turun ke jalan untuk mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan perasaannya.

Ketiga faktor tersebut, yaitu ketidaknyamanan, kesempatan, dan kekuatan.

"Ketidaknyamanan timbul karena masyarakat merasa diperlakukan tidak adil. Bagi masyarakat, distributive justice (fairness) kalah penting dibandingkan apakah mereka diperlakukan dengan hormat, apakah sebuah lembaga keadilan dapat dipercaya (procedural justice) dibandingkan dengan keputusan atau hasil dari keadilan tersebut," kata Devie kepada Kompas.com, Senin (15/5/2017).

Selain itu, dia menambahkan, ketidaknyamanan terjadi karena masyarakat selalu membandingkan apa yang diperolehnya dengan orang lain.

Artinya, kata dia, bila kesenjangan besar, maka masyarakat akan merasa diperlakukan tidak adil.

"Teknologi saat ini sangat mudah membantu setiap orang menemukan fakta ketidakadilan. Inilah yang mendorong orang tidak nyaman dan protes," imbuh Devie.

Sementara itu, aksi-aksi turun ke jalan marak terjadi karena adanya kesempatan yang diperoleh dengan pilihan ideologi demokrasi.

Ideologi ini memang memberikan jalan pada seluruh anak kandung demokrasi untuk menyampaikan dengan bebas harapan, impian, dan keinginan masyarakat terhadap sebuah fenomena sosial.

Adapun kekuatan atau sumber daya adalah ketika ada sekelompok masyarakat yang lebih dahulu menyampaikan aspirasi, hal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat lainnya.

Jakarta, sebagai barometer politik dan sosial menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya aksi-aksi serupa di wilayah lain.

"Hal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi sebuah fenomena sosial," ucap Devie.

"Mereka pun kemudian dengan percaya diri mengikuti pola yang sama. Kekuatan media sebagai sarana penyampai cerita dan fakta, sebagaimana yang dipertontonkan Jakarta, sebagai lokomotif trend, mendorong warga di daerah daerah lain melakukan imitasi dari perilaku perilaku sosial," jelasnya lagi.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Umat muslim mengikuti aksi 212 di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (21/2/2017). Aksi 212 tersebut digelar dalam rangka menuntut DPR agar segera mengambil tindakan agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diberhentikan dari jabatannya.
Sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar melihat, banyaknya aksi-aksi massa yang terjadi belakangan menunjukkan masyarakat Indonesia tengah sakit dan kecewa berat.

"Menurut saya, masyarakat kita sedang dalam kondisi sakit. Banyak masalah yang dihadapi, kemudian tidak ada yang memberikan solusi kepada mereka," kata Musni kepada Kompas.com.

Tentu saja ada latar belakang yang berbeda untuk setiap aksi yang dilakukan. Namun, secara umum, masyarakat saat ini memang tengah mudah terprovokasi oleh framing dan stigma.

Ironisnya, kata dia, provokasi ini tak hanya dilakukan oleh para elite politik, namun juga cerdik melalui media sosial mereka, juga para tokoh agama melalui mimbar-mimbar.

Lantas pertanyaannya, apa yang membuat masyarakat begitu mudah terprovokasi? Singkatnya, menurut Musni, faktor pendidikan yang rendah dan tekanan ekonomi.

"Pendidikan kita 76 persen hanya tamatan SMP dan tidak sekolah. Yang seperti ini, sangat mudah diombang-ambingkan dengan isu yang dilempar ke masyarakat," kata Musni.

Selain pendidikan, Musni juga melihat tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat kelas bawah utamanya, membuat mereka menjadi begitu sensitif dan mudah terprovokasi.

Menarik dari kacamata Musni, kekecewaan masyarakat kelas bawah yang tak kunjung merasakan perbaikan ekonomi itu justru ditangkap para elite untuk mencapai tujuan pribadi.

"Tokoh-tokoh lokal juga menggunakan kesempatan untuk mendapatkan dukungan publik," kata dia.

Kekecewaan masyarakat, imbuh Musni, juga muncul karena ekspektasi mereka terhadap kepala daerah atau wakil rakyat yang mereka pilih untuk duduk di Senayan, tidak terealisasi.

"Itu yang membuat mereka mudah diprovokasi, karena kesulitan yang mereka hadapi," ucap Musni.

Lalu, jika virusnya adalah rendahnya pendidikan, tekanan ekonomi, dan pejabat yang membuat kecewa, lantas apa obatnya?

Musni mengatakan, cara mengobati masyarakat yang sakit tentu saja menjadi tanggungjawab pemerintah, yaitu mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara yang telah diatur dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

"Apa itu? Pertama, mau tidak mau pemerintah harus melindungi rakyat dari korban pembangunan. Kedua, memajukan kesejahteraan umum," kata Musni.

"Kalau rakyat enggak sejahtera, gaduh dia, marah dia. Kecuali aksi bakar lilin dan kirim bunga itu. Tetapi demo yang banyak itu, kalau mereka ada pekerjaan, ngapain dia pergi demo?" kata dia lagi.

Terakhir, yaitu mencerdaskan bangsa. Menurut Musni, pemerintah punya pekerjaan rumah yang begitu besar untuk fokus pada pendidikan.

"Enggak ada negara yang maju kalau rakyatnya bodoh seperti sekarang," kata Musni.

Kompas TV Massa di Manado Ini Halangi & Tolak Fahri Hamzah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com