JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPD RI yang tidak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta Odang serta dua wakil pimpinan, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis, terancam mendapat sanksi.
Setidaknya, dukungan dana resesnya dibekukan. Sebab, surat pernyataan tertanggal 8 Mei 2017 soal pemberian hak keuangan anggota diterbitkan.
Hak keuangan tersebut baru dapat diambil jika anggota DPD RI menghadiri sidang paripurna dan kegiatan-kegiatan alat kelengkapan DPD yang dikoordinasikan di bawah kepemimpinan pimpinan DPD yang dilantik pada 4 April 2017.
Mereka kemudian harus menandatangani surat pernyataan serta menyampaikan laporan reses.
Hingga Kamis (11/5/2017), sebanyak 103 anggota telah memandatangani surat pernyataan tersebut dan 27 orang lainnya belum menandatangani karena berbagai alasan.
"Baik karena masih di luar kota atau karena masalah sikap tidak setuju terhadap pelaksanaan sidang paripurna," kata Sekretaris Jenderal DPD RI, Sudarsono Hardjosoekarto melalui keterangan tertulis, Kamis (11/5/2017).
Sudarsono menegaskan, dalam sistem kerja DPD setiap anggota diharuskan mengikuti sidang paripurna sebelum pergi reses. Mereka harus mengikuti atau setidaknya mengakui adanya sidang paripurna penutupan masa sidang tersebut.
Ia menilai akan menjadi masalah jika ada anggota yang menuntut hak reses, namun tidak mengikuti atau mengakui sidang paripurna penutupan masa sidang itu.
Hal ini juga dimaksudkan sebagai bentuk tertib administrasi keuangan dan tanggungjawab kepada publik. Apalagi DPD, menurut Sudarsono, sudah 10 tahun selalu mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
"Anggota yang tidak mengikuti atau mengakui penutupan sidang paripurna tidak berhak meminta dukungan dana reses di daerah pemilihan," tutur Sudarsono.
Anggota DPR dari Provinsi Maluku, John Pieris, menjadi salah satu yang belum menandatangani surat pernyataan tersebut. Ia mengajukan izin tak menghadiri sidang paripurna penutupan masa sidang karena melakukan cek kesehatan.
Meski begitu, John menilai kebijakan itu tak berdasar. Ia pun enggan menandatangani aurat pernyataan yang disiapkan. Anggaran reses, menurut dia, merupakan hak yang melekat pada setiap anggota DPD dan diatur dalam undang-undang.
"Apakah kalau tidak menandatangani dukungan pada pimpinan lalu ditahan (dana resesnya)? Ketentuan apa yang atur itu? Tidak boleh terjadi seperti itu," ujar John saat diwawancara terpisah
"Artinya jangan dicampurkan politik dan hukum," kata dia.
John pun menilai kebijakan tersebut harus segera ditarik atau berpotensi menimbulkan sengketa hukum. Tak menutup kemungkinan kebijakan ini akan berimbas pada kinerja dan reputasi DPD di mata masyarakat.
"Konflik internal ini (bisa) semakin panjang. Bisa lagi dibawa ke PTUN, bisa ke Ombudsman. Dan akan terjadi juga konflik yang berkepanjangan," tutur Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.
Sementara itu, ditemui beberapa waktu lalu Ketua DPD Oesman Sapta Odang menuding pihak-pihak yang kontra dengan kepemimpinannya memang ingin merusak lembaga DPD.
Menurut Oesman, mereka yang tidak mengakui kepemimpinan DPD saat ini berarti merupakan anggota yang ilegal.
"Dana cair kalo dia hadiri rapat paripurna. Kalau enggak ya enggak dapat. Itu kan uang negara. Uang rakyat. Harus digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi jangan enggak ikut sidang terus mau uangnya," kata Oesman Sapta.
Selain sanksi dengan tak mendapat anggaran reses, mereka yang tak mengakui kepemimpinan saat ini juga terancam mendapatkan sanksi berupa surat peringatan.
"Iya, itu lagi diproses," ucap Ketua Umum Partai Hanura itu.
Dikutip dari Harian Kompas, Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga DPD Ali Alwi mengatakan, urusan anggaran menjadi kewenangan sekretaris jenderal.
Namun, ia menegaskan, semua pencairan anggaran tetap harus melalui izin dari pimpinan DPD. Tanpa tanda tangan dari pimpinan DPD, anggaran untuk reses tidak bisa dicairkan.
"Bagaimana kalau andai kata pimpinan DPD tidak tanda tangan? Sekjen juga tidak bisa laksanakan (pencairan anggaran)," ujar Ali.
Polemik di DPD bermula dari adanya Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 yang salah satunya mengatur masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi dua tahun enam bulan.
Pada 30 Maret, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang isinya membatalkan kedua Tata Tertib DPD itu.
(Baca juga: Legalitas Pimpinan DPD)
Namun, pada awal April, sebagian anggota DPD tetap menjalankan pemilihan hingga dini hari dan menetapkan Oesman, Nono, dan Darmayanti sebagai pimpinan DPD menggantikan M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad.
Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Suwardi memandu Oesman, Nono, dan Darmayanti mengucapkan sumpah jabatan.
Kepemimpinan yang baru itu tidak diakui sebagian anggota DPD, termasuk Hemas dan Farouk Muhammad.
Saat ini, Hemas melakukan perlawanan lewat jalur hukum, yakni mengajukan permohonan terkait langkah administratif Mahkamah Agung yang memandu sumpah jabatan Oesman, Nono, dan Darmayanti ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
(Baca juga: Kapan Kisruh DPD Berakhir?)