Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setara Institute Temukan Standar Ganda dalam Penuntasan Kasus Penodaan Agama

Kompas.com - 11/05/2017, 18:18 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil riset Setara Institute menunjukkan adanya penerapan standar ganda dalam setiap proses penyelesaian kasus penodaan agama.

Hal itu menunjukkan masih lemahnya mekanisme penegakan hukum terkait kasus penodaan agama.

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai bahwa saat ini mekanisme penegakan hukum kasus penodaan agama sebagaimana diatur dalam pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat lemah.

Sebab, sebagian besar penyelesaian kasus penodaan agama tidak lepas dari adanya tekanan massa atau trial by mob.

(Baca: Badan Dunia Minta Pasal Penodaan Agama Direvisi, Ini Kata Menkumham)

"Memang ada kelemahan dalam sistem penegakan hukumnya. Sebagai sebuah delik aduan pasal tersebut (pasal 156 a KUHP) tidak steril," ujar Ismail dalam jumpa pers terkait laporan riset 'Rezim Penodaan Agama 1965-2017', di kantor Setara Institute, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).

Ismail memaparkan, berdasarkan hasil riset Setara Institute, tercatat ada 97 kasus penodaan agama dalam kurun waktu 1965 hingga 2017.

Dari jumlah tersebut, 76 kasus diselesaikan melalui proses persidangan dan 21 kasus diselesaikan di luar persidangan.

Setelah diteliti lebih jauh, lanjut Ismail, sebanyak 62 kasus selesai karena adanya tekanan massa.

Sementara 35 kasus selesai tanpa adanya tekanan massa. Dari 35 kasus yang diproses tanpa adanya tekanan massa, Setara Institute menemukan ada 14 kasus yang diselesaikan melalui jalur non yustisia.

Artinya, kasus dugaan penodaan agama pada dasarnya dapat diselesaikan melalui mekanisme mediasi dan rekonsiliasi.

Ismail menjelaskan, jika mengacu pada PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, ada mekanisme yang harus ditempuh sebelum proses persidangan.

(Baca: PDI-P Dorong Penghapusan Pasal Penodaan Agama)

Pasal 2 PNPS yang menjadi dasar lahirnya pasal 156a KUHP, menyatakan, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 (melakukan penafsiran tentang sesuatu agama) diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Namun, mekanisme tersebut jarang ditempuh, terutama jika ada tekanan massa yang begitu besar.

"Seharusnya ada proses pemberian peringatan. Judul dari PNPS itu saja sudah pencegahan," kata Ismail.

Pada kesempatan yang sama, peneliti Setara Institute Halili Hasan, mengatakan, mekanisme penyelesaian melalui jalur mediasi dan rekonsiliasi bisa dilakukan jika tekanan massa tidak begitu banyak.

Dia mencontohkan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membuktikan hal itu.

Mekanisme pemberian peringatan atau pun pemberian maaf tidak dilakukan sebelum kasus tersebut masuk ke tahap penyelidikan oleh kepolisian.

"Mekanisme mediasi, permintaan maaf atau bahkan pemberian maaf itu kan sebenarnya dimungkinkan. Tanpa tekanan massa, hal itu dimungkinkan," ujar Halili.

Di sisi lain, lanjut Halili, penyelesaian melalui jalur non yudisial dinilai lebih memiliki dampak yang positif terhadap kondisi psikologis masyarakat.

Menurut Halili, mediasi dan rekonsiliasi mampu meminimalisasi dampak polarisasi di masyarakat yang timbul dari adanya dugaan penodaan agama.

Kompas TV Ahok Ajukan Banding

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Nasional
Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

Nasional
26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

Nasional
Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

Nasional
MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

Nasional
Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com