JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia) Arif Susanto menilai, warga Jakarta menjadi seperti tesekat-sekat lantaran politik identitas yang ada selama proses pilkada DKI Jakarta berlangsung. Arif khawatrir kondisi ini akan terus terjadi dan skalanya lebih besar.
Seperti diketahui, pada 2018 nanti akan dilaksanakan pilkada serentak. Kemudian pada 2019 akan dilaksanakan pemilihan umum.
"Saya khawatir, kecenderungan gunakan politik identitas keagamaan akan berlangsung kembali dengan skala yang lebih masif, itu yang harus diprihatini," ujar Arif dalam diskusi di bilangan Menteng, Jakarta, Rabu (10/5/2017).
(Baca: "Ahok Effect" dan Kajian LIPI soal Kampanye Politik Identitas di Indonesia)
Menurut Arif, politik identitas sedianya tidak lagi muncul. Saat kemerdekaan pada 1945, Soekarno telah menyebut bahwa prinsip dasar negara Indonesia adalah gotong royong. Makna dari kegotongroyongan adalah dari semua untuk semua.
"Artinya tidak ada lagi (pihak) yang diistimewakan," kata Arif.
Selain itu, Indonesia juga menganut sistem Demokrasi yang identik dengan kebebasan. Namun, sedianya kebebasan yang dimaksud tidak lantas diartikan sebebas-bebasnya.
"Kebebasan tidak lantas membuat seseorang melakukan apapun atas nama kebenaran," ujarnya.