JAKARTA, KOMPAS.com - Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (
LIPI) terkait Pilkada Jakarta 2017 menunjukkan adanya peningkatan intensitas kampanye berbasis
politik identitas, khususnya agama.
Dinamika yang terjadi pada
Pilkada DKI Jakarta meninggalkan sejumlah catatan penting bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.
Masifnya penggunaan politik identitas semasa kampanye dianggap penting untuk dievaluasi.
Tingginya penggunaan isu agama dalam kampanye Pilkada Jakarta membuat peta politik berubah.
Hal tersebut diketahui dari temuan LIPI sebelum putaran pertama Pilkada Jakarta berlangsung.
Peneliti LIPI Nostalgiawan Wahyudhi menyebutkan, hanya 3,6 persen pemilih Jakarta yang memilih berdasarkan faktor agama.
Pada putaran pertama Pilkada DKI, pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat mengungguli dua pesaingnya yakni Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Hatimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Ahok, yang dijerat kasus dugaan penodaan agama, mengantongi 42,99 persen suara pada putaran pertama.
Pada putaran kedua, perolehan suara Ahok-Djarot sebesar 42,04 persen, selisih belasan persen dari Anies-Sandi.
Berdasarkan kajian LIPI, aspek agama bukan faktor determinan pada kemenangan Anies-Sandi.
"Di putaran kedua kita bisa melihat strategi kampanye Ahok-Djarot miskin platform. Mereka hanya mengandalkan debat sebagai upaya untuk menggerus suara Anies-Sandi. Itu hanya mampu mencuri 1-2 persen saja," ujar Wawan, sapaan akrab Nostalgiawan.
"Tim Ahok - Djarot terlalu percaya bahwa agama merupakan faktor determinan dalam Pilkada Jakarta. Akhirnya mereka yang aslinya memiliki basis masa wong cilik melupakan kampanye dengan program merakyat. Itu malah diambil tim Anies-Sandi," lanjut Wawan.
Dengan kata lain, Wawan menilai, faktor agama pada Pilkada Jakarta merupakan sesuatu yang bersifat flying in between. Tidak statis, melainkan secara sengaja dimainkan dan dikapitalisasi.
Kajian LIPI menyatakan, adanya kapitalisasi isu agama pada Pilkada Jakarta terlihat dari masifnya pengerahan massa selama kampanye dan ujaran kebencian yang menyitir
ajaran agama dalam bentuk spanduk di ruang publik dan juga di dunia maya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris memprediksi, penggunaan politik identitas pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bakal menguat.
Menurut Haris, hal itu berpotensi terjadi karena isu politik identitas, dalam hal ini agama, mudah untuk membakar emosi masyarakat dan digunakan untuk menggalang dukungan politik.
"Itu (politik identitas) begitu efektif digunakan di Jakarta. Mereka yang menggunakannya merasa efektif. Makanya potensi penguatannya di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 juga cukup besar," ujar Haris, seusai seminar di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Oleh karena itu, Haris menekankan, penggunaan politik identitas dalam kampanye harus dihentikan dan dilawan.
Meskipun, menurut dia, dibutuhkan kerja panjang untuk menjaga rasionalitas pemilih agar tidak terjebak dalam kampanye yang menggunakan politik identitas.
"Jadi harus dimulai dari pendidikan di level sekolah. Pemerintah harus memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan kebangsaan supaya pengaruh politik identitas tidak besar," ujar Syamsuddin.
"Jangan sampai anak usia sekolah itu pemikirannya sudah sektarian. Sudah menganut pemahaman fanatisme yang sempit," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.