Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Kewargaan

Kompas.com - 04/05/2017, 17:00 WIB
Kompas TV 58 tahun sudah Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional.

Pendidikan karakter dalam kebangsaan multikultural dituntut memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan karakter kolektif kebangsaan. Kurikulum pendidikan tak cukup mengembangkan kecerdasan kognitif, spiritual, atau kecerdasan emosional, lebih penting lagi adalah "kecerdasan kewargaan". Bahwa pribadi yang baik (hasil pendidikan keluarga, agama, dan komunitas-adat) hanya bisa jadi warga negara yang baik jika punya kecakapan mengenali, menghayati, serta mengamalkan konsepsi dan konsensus kebangsaan. Proses pendidikan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk bisa menghargai perbedaan sebagai kekayaan bangsa seraya mengenali titik-titik persamaan sebagai landasan persatuan.

Perlu ada revitalisasi dan reaktualisasi pendidikan kewargaan berbasis Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama bangsa secara keseluruhan diharapkan dapat membentuk lingkungan sosial yang membuat disposisi karakter perseorangan berkembang ke arah yang lebih baik. 

Pendidikan: transformasi bangsa

Proses pendidikan sebagai proses pengadaban kewargaan dalam kebangsaan multikultural harus sesuai konteks tantangan sosio-historis masyarakat. Dengan kata lain, proses pendidikan harus terkait juga dengan visi transformasi bangsa.

Bagi bangsa Indonesia, visi pendidikan transformatif secara garis besarnya telah dirumuskan oleh tim kecil dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara.  Pada 17 Juli 1945, tim kecil ini berhasil menyusun Garis-Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran yang pada pokoknya menggariskan proses transformasi bangsa melalui pendidikan yang mengembangkan cita-cita kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan, kepribadian, persatuan dalam keragaman.

(Baca juga: Selamat Hari Pendidikan Nasional dari Kami...)

Dalam konteks transformasi keadaban publik, setidaknya kita patut memerhatikan aspek kesetaraan, persatuan dalam keragaman, dan respons kepribadian nasional dalam menghadapi globalisasi.

Pertama, hendaklah diingat, kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna. Pendidikan diharapkan jadi sarana emansipasi sosial. Komitmen politik untuk memenuhi hasrat semacam itu dimaktubkan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran."

Oleh karena itu, tatkala kita melihat ada tanda-tanda dunia pendidikan mengarah pada pembelahan dan diskriminasi sosial baru atas dasar kekuatan daya beli, kita harus berjuang mengatasi kuman-kuman degenerasi ini dan mengembalikan pendidikan ke mandat konstitusi.

Kedua, dalam menumbuhkan semangat persatuan dalam perbedaan, kebijakan pendidikan harus mampu memberikan keseimbangan antara pemenuhan tuntutan perbedaan di satu sisi dan persatuan di sisi lain. Untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi "plural monokulturalisme"; dalam arti terdiri atas ragam etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong budayanya masing-masing tanpa kehendak saling berbagi. Political correctness dituntut untuk mentransformasikan situasi "plural-monokulturalisme" menuju situasi "multikulturalisme" lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke arah proses-proses penyerbukan silang budaya. Dalam usaha ini harus dicegah munculnya pemaksaan hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, jika perbedaan etnis, budaya, dan agama dikehendaki untuk bisa saling berinteraksi dan hidup berdampingan secara setara dalam komunitas politik bersama.

Peserta didik harus bisa mengenali dan mengakui hak-hak aneka kelompok untuk mengekspresikan identitas masing-masing di ruang publik. Di sisi lain,  persekolahan juga harus bisa mendorong berbagai kelompok etnis-agama untuk saling berinteraksi dan berbagi warisan budaya mereka serta berpartisipasi bersama dalam institusi pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum. Dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses penyerbukan silang budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan prasangka antarkelompok, mendorong hibriditas budaya, yang pada akhirnya lebih memberikan keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.

Meski demikian, upaya negara untuk memberikan ruang bagi  koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga  tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Ketiga, dalam menghadapi arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, dunia pendidikan harus dapat meresponsnya secara tepat. Thomas Lickona (2011) mengingatkan pentingnya pendidikan memberikan perhatian terhadap gejala global yang memperlihatkan kecenderungan retaknya kehidupan keluarga, meledaknya budaya pop oleh dorongan industri media, menguatnya materialisme dan kecenderungan mementingkan diri sendiri di kalangan anak-anak muda, serta krisis yang ditimbulkan oleh gaya hidup baru. Globalisasi juga menjadi kendaraan bagi trans-nasionalisasi fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.

Dalam kerangka pendidikan yang berwawasan global, jalur yang benar bagi perkembangan manusia sebagai hasil proses pendidikan, menurut Ki Hadjar, dapat dilukiskan dalam asas "tri-kon" (kontinu, konvergen, dan konsentris): "Perkembangan itu harus berlaku 'kontinu' dengan alamnya sendiri, 'konvergen' dengan alam di luarnya, untuk menuju ke arah persatuan 'konsentris' yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, tetapi tetap memiliki 'kepribadian' sendiri." Untuk itu, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. 

Ketika rasionalitas instrumental arus globalisasi perlu penguatan rasionalitas nilai (kepribadian), tendensi umum dunia pendidikan justru kurang memerhatikan segi-segi nilai-keadaban.  Kebajikan tidak lagi dianggap penting dan cenderung diremehkan dalam dunia pendidikan karena minat yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.

Di masa depan, dunia pendidikan diharapkan dapat mengambil sisi-sisi positif dari perkembangan sains dan teknologi seraya menghindari implikasi negatifnya. Untuk bisa terlibat dalam era globalisasi, para peserta didik harus diberikan kemampuan melek teknologi, terutama komputer, internet, dan telematika lainnya, ditambah penguasaan bahasa-bahasa internasional. Saat yang sama, krisis global yang dipacu oleh introduksi teknologi baru harus menempatkan kembali pendidikan nilai-karakter di jantung proses pembelajaran. Pengadopsian teknologi tinggi perlu diimbangi dengan penguatan.

Yudi Latif,
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan Kewargaan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Nasional
Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Nasional
Dukung Khofifah di Pilgub Jatim, Zulhas: Wakilnya Terserah Beliau

Dukung Khofifah di Pilgub Jatim, Zulhas: Wakilnya Terserah Beliau

Nasional
Polisi Buru 2 Buron Penyelundup 20.000 Ekstasi Bermodus Paket Suku Cadang ke Indonesia

Polisi Buru 2 Buron Penyelundup 20.000 Ekstasi Bermodus Paket Suku Cadang ke Indonesia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com