Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ajukan Hak Angket KPK, Komisi III DPR Dianggap Tak Paham Hukum

Kompas.com - 29/04/2017, 12:23 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, pengajuan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tepat.

Menurut Lucius, anggota Komisi III DPR seperti menunjukkan ketidakpahaman soal hukum.

"Komisi III bisa bilang mereka mitra KPK dan paling paham hukum, tapi kami tidak melihat mereka tampak paham dengam hukum yang sehari-hari jadi bahan pembicaraan mereka," ujar Lucius dalam diskusi Populi Center dan Smart FM di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4/2017).

(baca: "Apakah Anggota DPR Paham Penggunaan Hak Angket?")

Misalnya, menurut Lucius, Komisi III DPR tidak dapat membedakan mana informasi terkait proses hukum yang dapat dibuka atau tidak dapat dibuka kepada publik.

Dalam hak angket, Komisi III DPR meminta agar KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Menurut Lucius, secara aturan, rekaman dan berita acara pemeriksaan merupakan alat yang digunakan penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.

(baca: Mahfud MD Minta KPK Tak Gubris Hak Angket DPR)

Dibukanya informasi tersebut kepada publik, dikhawatirkan justru mengganggu proses hukum yang sedang berlangsung.

"Pengamat hukum saja tahu itu ranah yang berbeda. Tidak bisa karena mitra kerja, lalu Komisi III bisa minta apa saja kepada KPK," kata Lucius.

Menurut Lucius, permintaan Komisi III tersebut justru menunjukkan bahwa Komisi Hukum di parlemen itu tidak paham mengenai hukum.

(baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)

Selain itu, anggota Komisi III dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi juga menganggap DPR tidak bisa mengajukan hak angket terhadap KPK.

Dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara KPK adalah lembaga bukan pemerintah.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti hak angket yang diajukan DPR.

Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.

"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat dikonfirmasi, Jumat.

(baca: Ini Daftar 26 Anggota DPR Pengusul Hak Angket KPK)

Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi proyek e-KTP.

"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif.

Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.

Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.

Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.

Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

DPR kemudian menyetujui penggunaan hak angket tersebut.

Kompas TV Fahri: Angket Justru Bikin Terang Masalahnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Polri Tangkap 3 Tersangka 'Ilegal Fishing' Penyelundupan 91.246 Benih Bening Lobster

Polri Tangkap 3 Tersangka "Ilegal Fishing" Penyelundupan 91.246 Benih Bening Lobster

Nasional
PDI-P Anggap Pernyataan KPU soal Caleg Terpilih Maju Pilkada Harus Mundur Membingungkan

PDI-P Anggap Pernyataan KPU soal Caleg Terpilih Maju Pilkada Harus Mundur Membingungkan

Nasional
Kesaksian JK dalam Sidang Karen Agustiawan yang Bikin Hadirin Tepuk Tangan...

Kesaksian JK dalam Sidang Karen Agustiawan yang Bikin Hadirin Tepuk Tangan...

Nasional
DPR Tunggu Surpres Sebelum Bahas RUU Kementerian Negara dengan Pemerintah

DPR Tunggu Surpres Sebelum Bahas RUU Kementerian Negara dengan Pemerintah

Nasional
Nurul Ghufron Akan Bela Diri di Sidang Etik Dewas KPK Hari Ini

Nurul Ghufron Akan Bela Diri di Sidang Etik Dewas KPK Hari Ini

Nasional
Prabowo Nilai Gaya Militeristik Tak Relevan Lagi, PDI-P: Apa Mudah Seseorang Berubah Karakter?

Prabowo Nilai Gaya Militeristik Tak Relevan Lagi, PDI-P: Apa Mudah Seseorang Berubah Karakter?

Nasional
Hadir di Dekranas Expo 2024, Iriana Jokowi Beli Gelang dan Batik di UMKM Binaan Pertamina

Hadir di Dekranas Expo 2024, Iriana Jokowi Beli Gelang dan Batik di UMKM Binaan Pertamina

Nasional
Jokowi Ucapkan Selamat ke PM Baru Singapura Lawrence Wong

Jokowi Ucapkan Selamat ke PM Baru Singapura Lawrence Wong

Nasional
Seputar Penghapusan Kelas BPJS dan Penjelasan Menkes...

Seputar Penghapusan Kelas BPJS dan Penjelasan Menkes...

Nasional
Konflik Papua: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Konflik Papua: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Nasional
Para 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah serta Deretan Aset yang Disita

Para "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah serta Deretan Aset yang Disita

Nasional
Soal Kelas BPJS Dihapus, Menkes: Dulu 1 Kamar Isi 6-8 Orang, Sekarang 4

Soal Kelas BPJS Dihapus, Menkes: Dulu 1 Kamar Isi 6-8 Orang, Sekarang 4

Nasional
Babak Baru Kasus Vina Cirebon: Ciri-ciri 3 Buron Pembunuh Diungkap, Polri Turun Tangan

Babak Baru Kasus Vina Cirebon: Ciri-ciri 3 Buron Pembunuh Diungkap, Polri Turun Tangan

Nasional
Wacana Kabinet Gemuk: Kemunduran Reformasi Birokrasi?

Wacana Kabinet Gemuk: Kemunduran Reformasi Birokrasi?

Nasional
Gaya Pemerintahan Prabowo Diharap Tidak Satu Arah seperti Orde Baru

Gaya Pemerintahan Prabowo Diharap Tidak Satu Arah seperti Orde Baru

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com