Sebenarnya UU terkait etika pemerintah itu telah banyak terbentang di beberapa perundangan kita. Etika adalah suatu seni dan pertimbangan yang mengandung nilai baik dan buruk. Semua perundangan yang ada selalu mengemukakan pertimbangan seperti itu. Tuhan pun telah menunjukkan kepada manusia ini bahwa ada perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk. Tinggal kita yang disuruh memilihnya dengan tanggung jawab masing-masing.
Misalnya UU No 30/2014 tentang Sistem Administrasi Pemerintahan (SAP) dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memuat aturan tentang etika pemerintahan. UU terkait pemberantasan korupsi (UU KPK) dan UU terkait pemilihan umum (UU KPU) jelas mengatur ketentuan yang mengandung nilai baik dan buruk. Akan tetapi, pemahaman nilai baik dan buruk itu dalam perjalanannya mengalami intervensi kekuasaan atau intervensi politik yang menonjolkan perbedaan pendapat dan kekuasaan.
UU yang telah mengatur pelaksanaan etika pemerintahan itu tiba-tiba ada upaya perlu direvisi atas usul aspirasi politik dari pemegang kekuasaan agar aspirasi politiknya bisa mewarnai UU tersebut.
Ada pejabat politik yang baru saja melakukan perjalanan riset di luar negeri, sepulang ke Tanah Air mengusulkan revisi UU KPU agar anggota komisioner KPU diisi dari wakil partai politik. Padahal, partai politik itu pula yang nantinya berebut menang dalam pemilihan umum, lalu bagaimana wakil dari partai politik di KPU bisa netral?
Hal seperti ini jelas terlihat bahwa masalah etika bukan menjadi pertimbangan utama, melainkan pertimbangan politiklah yang ditekankan. UU SAP dan UU ASN juga mengalami hal yang serupa. UU ASN dimaksudkan akan menciptakan UU profesi dan menciptakan proteksi sistem merit yang netral dari intervensi politik. UU ASN ini pun diancam oleh partai politik untuk direvisi agar kader-kader mereka bisa masuk dalam jajaran pemerintah, tanpa dilihat kompetensinya. Hal semacam ini yang saya sebut aspirasi politik memegang kemerdekaan dalam mengatur segala ketentuan yang meninggalkan aspirasi etika.
Sudah tiba saatnya intervensi politik tidak dijadikan pertimbangan yang pertama, yang bisa merusak tatanan aturan yang mengandung nilai baik dan buruk. Seharusnya ribut yang memalukan terkait perebutan kekuasaan pimpinan di DPD itu tidak akan terjadi kalau kemerdekaan demokrasi tidak kebablasan, tetapi tetap dikendalikan oleh seni dan pertimbangan etika. Pendapat ini jangan lalu ditafsirkan bahwa pertimbangan politik itu tidak baik. Akan tetapi, kalau pertimbangan politik lebih karena semata-mata hanya untuk memenangkan kekuasaan dan substansi egoisme sendiri dari suatu partai politik sendiri, maka ini yang bahaya. Partai politik itu memang tidak bisa dipisahkan dari ambisi kekuasaan. Bung Karno pun dulu pernah mengatakan bahwa partai politik itu aspirasinya adalah kekuasaan untuk mencapai, menguasai, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan.
Pertimbangan etika dalam menata administrasi negara seharusnya menebar di tiga lembaga pemegang kekuasaan rakyat. Kita berharap, ke depan, semua peraturan perundangan di lembaga kekuasaan yang dipegang Presiden selalu menjadi etika sebagai bahan pertimbangan. Demikian pula di lembaga kekuasaan pembentuk UU di DPR dan DPD tidak akan lepas pertimbangan etika ini. Tidak ketinggalan di lembaga kekuasaan kehakiman, jika memberikan keputusan, jauhkan dari pertimbangan politik dan tampilkan pertimbangan etika ini.
Dahulu Bung Karno dan Bung Hatta walaupun berselisih dalam pandangan politik tetapi tidak berpengaruh dalam hubungan pribadi mereka. Etika pergaulan pribadi yang sangat akrab dan mulia dibawa sampai akhir hayat mereka.
Miftah Thoha,
Profesor (ret) Universitas Gadjah Mada
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 April 2017, di halaman 6 dengan judul "UU Pemerintahan".