Media sosial juga tak mengenal ideologi apa pun kecuali kapitalisme. Seperti digambarkan Evgeny Morozov dalam tulisan berjudul ”Moral panic over fake news hides the real enemy—the digital giants” (The Guardian, 8/1/2017), untuk media sosial, tak penting siapa yang menjadi Presiden Amerika Serikat dan apa dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Bagi media sosial, yang penting adalah kontroversi-kontroversi politik meningkatkan akses dan diskusi di media sosial sedemikian rupa sehingga berkorelasi dengan peningkatan harga saham dan pendapatan perusahaan media sosial.
Kembali ke esensi
Menghadapi media sosial dengan karakter tak terperikan itu, media konvensional semestinya kembali kepada ciri distingtifnya: kemampuan menyajikan informasi yang berkualitas dan mencerahkan. Masyarakat yang jengah dengan diskusi di media sosial yang konfliktual dan memecah-belah sebagian akan kembali ke media konvensional.
Di AS dan beberapa negara Eropa, gejala ini sudah mulai mengemuka. Persoalannya, bagaimana kita membayangkan terjadinya media consumption reborn ini jika media konvensional ternyata tak jauh beda dengan media sosial, sama-sama konfliktual dan memecah belah. Bagaimana bisa menarik kembali minat masyarakat jika media konvensional cenderung menjadi follower media sosial dalam menyajikan kebohongan dan kepalsuan?
Gejala media consumption reborn menunjukkan masyarakat masih butuhinformasi atau berita berkualitas. Yang perlu dilakukan media konvensionaljelas bukan mengikuti arus dan kecenderungan media sosial, melainkan sebaliknya: menampilkan hal yang lebih baik, mendalam, dan substansial. Seperti yang telah dikatakan para pakar, strategi untuk mempertahankan diri di era nihilisme moralitas bermedia dewasa ini adalah kembali pada esensi jurnalisme yang bermutu dan mencerahkan masyarakat.
Agus Sudibyo,
Pendiri Indonesia New Media Watch
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Nihilisme Moralitas Bermedia".