Pemberian uang itu dimaksudkan agar Komisi II DPR RI dan Banggar menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan e-KTP. Teguh disebut menerima uang 100.000 dollar AS.
"Kami tidak pernah menerimanya yang mulia," kata Teguh.
Dari puluhan nama yang terungkap dalam dakwaan, KPK mengakui ada 14 orang yang telah mengembalikan uang dengan total Rp 30 miliar. Namun, KPK tidak pernah buka mulut soal nama-nama tersebut.
Selain itu, lembaga antirasuah juga telah menyita Rp 220 miliar dari pihak korporasi, yakni lima perusahaan dan satu konsorsium. Meski begitu, menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, pengembalian uang tidak akan menghapus tidak pidana yang dilakukan.
Menyingkap aktor lain
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai kesaksian mereka sangat penting dalam persidangan. Keterangan yang mereka beberkan menjadi alat bukti bagi terdakwa yang tengah disidangan.
"Dan juga aktor lain yang akan dijerat," ujar Miko.
Miko mengatakan, sebaiknya seluruh saksi memenuhi panggilan jaksa untuk tampil di persidangan dan kooperatif.
(Baca: Dakwaan Kasus E-KTP: Novanto, Anas, Nazaruddin Sepakat Bagi-bagi Rp 2,5 Triliun)
Menurut dia, ada konsekuensi hukum bagi pihak yang tak memenuhi panggilan tersebut. Di sisi lain, aspek keselamatan dan perlindungan saksi juga harus dikedepankan.
"Peran saksi ini penting dan signifikan. Oleh karena itu, kemurnian kesaksian yang akan ia berikan patut dijaga," kata Miko.
Miko mengatakan, jangan sampai ada saksi yang membantah isi dakwaan karena diancam pihak tertentu. Pasalnya, banyak nama besar yang disebut dalam dakwaan menerima hasil korupsi tersebut.
Miko menyarankan agar KPK bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan keamanan para saksi. Dengan demikian, mereka bisa secara gamblang membeberkan kesaksian dalam persidangan dengan sebenar-benarnya.
(Baca:
"Bagi kami, kasus ini harus dibongkar tuntas," kata Miko.
Dalam kasus ini, dua orang yang jadi terdakwa yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. Perbuatan keduanya diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Banyak pihak yang disebut dalam dakwaan telah menerima dana hasil korupsi e-KTP tahun 2011-2012. Korupsi terjadi sejak proyek itu dalam perencanaan serta melibatkan anggota legislatif, eksekutif, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta.
Dalam dakwaan, Andi Narogong selaku pelaksana yang ditunjuk langsung mengerjakan proyek e-KTP diketahui beberapa kali melakukan pertemuan dengan Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu Setya Novanto, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.