JAKARTA, KOMPAS.com - Satu persatu orang yang disebut menerima fee dari proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (e-KTP) dihadirkan dalam sidang yang tengah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
Satu persatu pula fakta baru terungkap dari mereka, meski sebagian besar bantahan yang mereka berikan.
Dalam dua persidangan sebelumnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi telah menghadirkan 12 saksi. Mereka adalah mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi; Sekretaris Jenderal Kemendagri Yuswandi Temenggung; mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraeni; mantan Direktur Jenderal Adminsitrasi Kependudukan Kemendagri Rasyid Saleh.
Selanjutnya, Direktur Fasilitas Dana Perimbangan Ditjen Keuangan Kemendagri Elvius Dailami; Kepala Bagian Perencanaan Kemendagri Wisnu Wibowo; dan kepala Subag Perencanaan pada Sesditjen Dukcapil Kemendagri, Suparmanto.
(Baca: KPK Tangkap Andi Narogong Tersangka Baru Kasus E-KTP)
Selain itu, jaksa juga menghadirkan mantan Ketua Komisi II DPR Chaeruman Harahap; dua mantan Wakil Ketua Komisi II Taufiq Effendi dan Teguh Juwarno; mantan anggota Komisi II Miryam S Haryani; serta Direktur Utama PT Karsa Wira Utama, Winata Cahyadi.
Di antara mereka, hanya Diah Anggraeni dan Wisnu Wibowo yang mengaku menerima uang. Selebihnya, terutama para mantan anggota DPR RI, mengaku tak ada bagi-bagi uang sebagaimana dituliskan dalam dakwaan.
Bahkan, Miryam mengaku mengarang rincian kronologi pemberian uang yang diceritakan ke penyidik, mulai dari waktu, orang-orang yang menerima, hingga jumlah yang diterima masing-masing.
"Saya diancam, saya mau dibidik," kata Miryam sambil menangis saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/3/2017).
"Biar cepat saya keluar ruangan, terpaksa saya ngomong asal saja," lanjut dia.
(Baca: Saksi Kemendagri Akui Ada Pemberian Uang dari Terdakwa Kasus E-KTP)
Namun, hakim sangsi dengan kesaksian Miryam itu. Akhirnya, di muka persidangan, Miryam mencabut isi BAP yang menyebutkan rincian pemberian uang.
Sementara itu, Teguh Juwarno menganggap mustahil adanya pembagian uang di ruang kerja anggota Komisi II DPR RI Mustokoweni pada September atau Oktober 2010. Pasalnya, saat itu Mustokoweni telah meninggal dunia.
Berdasarkan dakwaan, uang yang dibagikan di ruangan Mustokoweni berasal dari pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pemberian uang dilakukan setelah adanya kesepakatan pembagian anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun yang diperuntukan belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP sebesar 51 persen atau Rp 2,662 triliun, sementara sisanya dibagi-bagi ke sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI.
"Kami tidak pernah menerimanya yang mulia," kata Teguh.
Dari puluhan nama yang terungkap dalam dakwaan, KPK mengakui ada 14 orang yang telah mengembalikan uang dengan total Rp 30 miliar. Namun, KPK tidak pernah buka mulut soal nama-nama tersebut.
Selain itu, lembaga antirasuah juga telah menyita Rp 220 miliar dari pihak korporasi, yakni lima perusahaan dan satu konsorsium. Meski begitu, menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, pengembalian uang tidak akan menghapus tidak pidana yang dilakukan.
Menyingkap aktor lain
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai kesaksian mereka sangat penting dalam persidangan. Keterangan yang mereka beberkan menjadi alat bukti bagi terdakwa yang tengah disidangan.
"Dan juga aktor lain yang akan dijerat," ujar Miko.
Miko mengatakan, sebaiknya seluruh saksi memenuhi panggilan jaksa untuk tampil di persidangan dan kooperatif.
(Baca: Dakwaan Kasus E-KTP: Novanto, Anas, Nazaruddin Sepakat Bagi-bagi Rp 2,5 Triliun)
Menurut dia, ada konsekuensi hukum bagi pihak yang tak memenuhi panggilan tersebut. Di sisi lain, aspek keselamatan dan perlindungan saksi juga harus dikedepankan.
"Peran saksi ini penting dan signifikan. Oleh karena itu, kemurnian kesaksian yang akan ia berikan patut dijaga," kata Miko.
Miko mengatakan, jangan sampai ada saksi yang membantah isi dakwaan karena diancam pihak tertentu. Pasalnya, banyak nama besar yang disebut dalam dakwaan menerima hasil korupsi tersebut.
Miko menyarankan agar KPK bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan keamanan para saksi. Dengan demikian, mereka bisa secara gamblang membeberkan kesaksian dalam persidangan dengan sebenar-benarnya.
(Baca:
"Bagi kami, kasus ini harus dibongkar tuntas," kata Miko.
Dalam kasus ini, dua orang yang jadi terdakwa yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. Perbuatan keduanya diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Banyak pihak yang disebut dalam dakwaan telah menerima dana hasil korupsi e-KTP tahun 2011-2012. Korupsi terjadi sejak proyek itu dalam perencanaan serta melibatkan anggota legislatif, eksekutif, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta.
Dalam dakwaan, Andi Narogong selaku pelaksana yang ditunjuk langsung mengerjakan proyek e-KTP diketahui beberapa kali melakukan pertemuan dengan Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu Setya Novanto, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.