Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar juga merasa khawatir dengan kondisi DPD saat ini.
DPD justru semakin dikerdilkan dengan aturan-aturan yang ada, bahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Padahal, DPD merupakan kamar kedua parlemen yang pada awalnya dibentuk sebagai penyeimbang bagi DPR.
"Mohon maaf, seringkali DPD mengalami pengkerdilan secara sistematis. Padahal DPD kan kamar kedua, biasanya kuat seperti gajah. Tapi oleh UUD sebetulnya dikecilkan maknanya," kata Zainal.
Menurut Zainal, hal itu tercantum dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 mengenai wewenang DPD. Zainal mengibaratkan ketentuan tersebut justru mengkerdilkan DPD menjadi seperti kambing alih-alih kuat seperti gajah.
Sebab, DPD hanya memiliki wewenang untuk konsultasi dan mengawasi. Namun, tindak lanjut dari pengawasan diserahkan kepada DPR.
"Di UU MD3 diubah lagi jadi kelinci. Jadi ada pengkerdilan secara sistematis. Dan tatib DPD malah mengubah jadi tikus," ujar Zainal.
"Saya membayangkan DPD tidak punya masa depan," kata dia.
(Baca juga: Semangatnya Harus Perbaiki DPD RI, Bukan Bubarkan)
Adapun Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi mengusulkan agar DPD mengesampingkan syahwat politiknya soal perebutan kursi pimpinan dan fokus pada penguatan kelembagaan.
Dengan situasi internal DPD yang meributkan kursi pimpinan, cita-cita penguatan lembaga DPD seolah mustahil untuk dicapai.
"Mestinya DPD fokus pada menguatkan kelembagaan. Sekarang justru ribut soal masa jabatan, bagaimana menguatkan kelompok atau parpol tertentu. Ini jadi persoalan serius. Penyakitnya akut," kata Veri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.