Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

E-KTP... "Deja Vu" Tudingan Nazaruddin yang "Beneran" Jadi Perkara

Kompas.com - 18/03/2017, 08:12 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com - Akhir pekan, sebenarnya tak asyik buat membahas topik berat. Namun, kasus dugaan korupsi dalam pengadaan e-KTP ternyata cukup mengusik. Tepatnya, berasa deja vu!

Sudah begitu, tak cuma satu yang rasanya "pernah dengar" atau "pernah lihat".

Adalah M Nazaruddin—mantan Bendahara Umum Partai Demokrat—yang barangkali harus kita "salahkan" untuk membuat akhir pekan ini jadi agak terlalu serius. Kenapa?

Perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto—keduanya mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri—yang disidangkan mulai 9 Maret 2017, seolah menggenapi tudingan Nazaruddin yang "terbukti" menjadi perkara hukum.

Sejak medio 2012, Nazaruddin sudah mengumbar sejumlah tudingan, termasuk nama-nama yang menurut dia bersilang-sengkarut di dalamnya.

Tudingan Nazaruddin

Sudah lebih jelas, gambarnya? Ilustrasi lingkaran hitam racikan mas Pandu dengan latar foto karya Alif Ichwan ini meringkas beragam tudingan Nazaruddin.

Gambar tersebut melengkapi berita utama Kompas Siang—salah satu inovasi lawas harian Kompas—edisi 23 September 2013.

(Baca juga: Geger Nama di Kasus E-KTP, Satu Lagi Drama Urusan Identitas Tunggal)

Namun, tudingan Nazaruddin bukan baru keluar pada hari itu. Dia sudah berkicau banyak bahkan sejak masih dalam pelarian panjangnya antara Singapura dan Kolombia hingga "dijemput" pada 2012.

Menyimak dakwaan yang dibacakan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus ini, rasanya seperti mendengar lagi Nazaruddin lantang menyuarakan tudingan.

Misalnya, seperti dikutip Kompas.com pada 23 September 2013, Nazaruddin sudah nyaring menyebut dugaan markup di pengadaan e-KTP. 

“Jadi gini, proyek nilainya Rp 5,9 triliun, saya, (Setya) Novanto, semua, merekayasa proyek ini, mark-up Rp 2,5 triliun,” kata Nazaruddin.

(Baca: Nazaruddin: "Mark-up" Proyek E-KTP Rp 2,5 Triliun)

Angkanya beda tipis dengan Rp 2,3 triliun yang disebut jaksa sebagai dugaan kerugian negara dalam kasus ini, bukan?

Belum lagi soal nama, di artikel tersebut sudah disebut setidaknya tiga nama yang sekarang juga muncul di dakwaan.

Elza Syarief sebagai pengacara M Nazaruddin pada 2013, memperlihatkan alur dugaan korupsi dalam pengadaan e-KTP yang menyeret oknum pejabat Kementerian Dalam Negeri, partai politik, dan anggota DPR.Dok Kompas Elza Syarief sebagai pengacara M Nazaruddin pada 2013, memperlihatkan alur dugaan korupsi dalam pengadaan e-KTP yang menyeret oknum pejabat Kementerian Dalam Negeri, partai politik, dan anggota DPR.

Pada hari-hari itu, keriuhan soal dugaan korupsi e-KTP kurang lebih sama juga dengan sekarang. Tak ketinggalan pula bantahan dan aduan ke kepolisian soal dugaan pencemaran nama baik.

Ada diskusi segala, bahkan di gedung DPR, dan menghadirkan pengacara Nazaruddin. Setidaknya ini yang diberitakan Kompas pada edisi 20 September 2013.

Deja vu lain adalah soal nama orang-orang yang diduga terlibat perkara. Bukan kali pertama serombongan tokoh publik disebut dalam dakwaan kasus korupsi. Sebagian sudah dipenjara.

(Baca juga: Menyusuri Jejak Lama Bau Busuk Proyek E-KTP...)

Lagi-lagi, masih pada 2013, harian Kompas sempat pula membuat ilustrasi yang memetakan para pesohor politik dalam jeratan kasus korupsi. Itu pun baru sebagian partai.

Ilustrasi ini melengkapi berita utama harian Kompas edisi 14 Maret 2013. Memasang judul "Korupsi di Politik Sistemik", berita tersebut menengarai pula bahwa politisi mengincar sektor strategis.

Dok Kompas Politisi yang terjerat kasus korupsi pada 2013

Masalahnya, semua tudingan Nazaruddin yang sekarang sudah bergulir—mulai dari wisma atlet di Palembang, korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional, pembangunan fasilitas olahraga di Hambalang, dan terkini e-KTP—bisa jadi belum seluruhnya.

Johan Budi—juru bicara KPK pada 2013 dan sekarang jadi juru bicara di Istana Negara—pernah pula dikutip dengan ujaran, "(Kasus Hambalang) itu halaman ketiga, dan akan ada halaman keempat, kelima, dan seterusnya.”

Buat penyegar, waktu itu sedang lumayan tenar penggunaan kata "halaman", menyusul berbagai pernyataan dari mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Katakanlah kasus e-KTP merupakan halaman keempat, jangan-jangan benar masih ada halaman kelima dan seterusnya?

Lalu, ujaran lama dari Lord Acton pun serasa berdenging kembali di kepala. Deja vu makin terasa bertalu-talu di kepala. "Power tends to corrupt...," tulis Acton, satu setengah abad silam.

Hujan sejak subuh pada akhir pekan ini—setidaknya di Jakarta—mendadak terdengar seperti iringan muram, untuk kemungkinan masih ada "misteri" tudingan Nazaruddin, yang entah tersisa berapa dan tentang apa lagi....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Nasional
Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Nasional
Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Nasional
Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Nasional
Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Nasional
Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Nasional
Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Nasional
Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu 'Poco-Poco Kepemimpinan', Sindir Pemimpin Maju Mundur

Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu "Poco-Poco Kepemimpinan", Sindir Pemimpin Maju Mundur

Nasional
Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Nasional
PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling 'Fair'

PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling "Fair"

Nasional
Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Nasional
Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Nasional
PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

Nasional
Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Nasional
98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com