Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Manuver di DPR Diduga Berupaya Lemahkan KPK...

Kompas.com - 15/03/2017, 09:37 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya sosialisasi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan usulan pengajuan hak angket untuk menginvestigasi KPK dalam mengusut korupsi e-KTP mengundang sejumlah pertanyaan.

Pasalnya, dua hal tersebut muncul di saat persidangan kasus korupsi e-KTP berlangsung. Terlebih, dalam berkas dakwaan, sebanyak 51 legislator disebut menerima aliran dana korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Apalagi, ketua DPR saat ini, Setya Novanto, disebut berperan penting dalam merencanakan proyek dan pembagian aliran dana.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai keduanya ibarat aksi dan reaksi yang terjadi antara KPK dan DPR.

"Karena muncul bebarengan, sulit untuk menepis korelasi antara tiga hal itu. Kasus e-KTP diduga melibatkan deretan nama dari parlemen, bahkan ketuanya diduga terlibat," tutur Lucius melalui pesan singkat, Rabu (15/3/2017).

Kemunculan kembali wacana revisi UU KPK yang hampir bersamaan dengan persidangan kasus e-KTP dinilainya mustahil tanpa ada hubungan satu sama lain.

Sehingga, Lucius mengatakan bahwa tidak salah jika publik membaca upaya merevisi UU KPK dan usulan penggunaan hak angket kasus e-KTP sebagai bagian dari cara DPR "membela diri" terhadap "serangan" kasus E-KTP.

Hal mencurigakan lain bagi Lucius adalah, saat ini revisi UU KPK tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2017.

Lucius pun menilai revisi UU KPK sarat dengan kepentingan untuk melemahkan KPK. Hal itu terlihat dengan wacana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk Presiden dan keharusan bagi KPK meminta izin sebelum menyadap.

"Maklum saja, dengan dijadikannya DPR sebagai target KPK, situasi itu tak pelak membuat DPR menjadi tak nyaman dan selalu merasa terteror oleh KPK," ujar Lucius.

(Baca juga: Revisi UU KPK Kembali Mencuat setelah Ramai Kasus E-KTP, Ada Apa?)

Demikian pula dengan kemunculan usulan hak angket kasus e-KTP dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah seusai jaksa KPK menyebut sejumlah legislator dalam sidang perdana kasus korupsi e-KTP.

Lucius menilai janggal usulan tersebut. Dia menyatakan, proyek pengadaan e-KTP memang melibatkan pemerintah, tetapi dalam hal anggaran justru diduga anggota DPR terlibat.

"Lalu bagaimana DPR nanti akan memeriksa mereka sendiri," kata Lucius.

(Baca juga: Fahri Hamzah: Jokowi Kaget Dengar Keterangan Saya soal E-KTP)

Ia menambahkan, hak angket memang bisa digunakan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang diduga merugikan kepentingan publik.

Kasus e-KTP juga termasuk yang merugikan publik. Karena itu DPR bisa membentuknya kapan saja.

"Pertanyaannya kenapa baru sekarang inisiatif hak angket dimunculkan dan itu bersamaan dengan proses hukum di KPK. Ke mana DPR sebelum kasus ini mulai ramai dibicarakan sejak 2011 silam," kata dia.

Karena itu, sosialisasi revisi UU KPK dan usulan hak angket terkait e-KTP patut diduga sebagai intervensi DPR terhadap proses hukum yang tengah berlangsung di KPK, yang notabenenya banyak anggota DPR yang diduga terlibat.

"Ini semua bisa dibaca sebagai strategi intervensi DPR terhadap proses penegakan hukum. Usulan Fahri bisa dianggap Sebagai teror bagi KPK agar DPR terbebas dari sasaran KPK dalam mengungkap pelaku korupsi e-KTP," ucap Lucius.

Hal senada disampaikan Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester. Lola mengatakan, nama-nama pejabat yang diduga menerima aliran dana dalam proyek e-KTP adalah orang-orang yang masih berkuasa.

Sejumlah nama besar yang disebut menerima uang dalam surat dakwaan kasus e-KTP merupakan politisi dan anggota DPR. Hal ini masih memungkinkan penggunaan kekuasaan untuk melemahkan KPK dengan cara merevisi UU KPK oleh DPR.

"Dakwaan e-KTP memang menyebutkan nama-nama pejabat publik yang diduga menerima aliran dana. Artinya, revisi UU KPK diduga keras merupakan upaya melemahkan KPK dalam penanganan perkara tersebut," ujar Lola.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com