JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan teknologi pemilihan dengan sistem elektronik atau e-voting dinilai belum memilki urgensi untuk dilakukan dalam waktu dekat.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menilai, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, persiapan penggunaan e-voting perlu dilakukan secara matang. Sehingga, dianggap tak memungkinkan jika dipaksakan diaplikasikan pada Pileg dan Pilpres 2019.
"Menurut kami impossible (pemilu 2019) dan tidak perlu dipakai," kata Hadar saat ditemui di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, akhir pekan kemarin (11/3/2017).
"Ini perlu persiapan besar dalam banhak aspek. Sedangkan, apa yang sudah dilakukan untuk itu?" ucapnya.
KPU menilai, e-voting tak memberi jawaban atas permasalahan pemilu di Indonesia. Permasalahan lebih kepada bagaimana bisa mendapatkan hasil yang cepat, dengan hitungan yang akurat dan berintegritas, serta sulit melakukan manipulasi.
Hadar mengatakan, pihaknya kini tengah mengkaji sistem rekapitulasi elektronik (e-recap). Sehingga nantinya angka dalam surat suara bisa dibaca langsung oleh mesin.
Persoalan lain, Indonesia memiliki karakter masyarakat yang beragam dan jika e-voting mau diterapkan, maka harus dapat diaplikasikan terhadap semua karakter pemilih.
Kemampuan sumber daya manusia, hingga landasan hukum juga perlu diperhatikan. Bahkan, landasan hukum harus memikirkan hingga tataran jika terjadi sengketa.
Pada Pilpres 2014 lalu, tercatat ada sekitar 548.000 tempat pemungutan suara se-Indonesia. Hal itu, berarti Indonesia membutuhkan mesin e-voting sejumlah itu jika mau menerapkannya pada Pemilu 2019.
Secara hitungan, biaya akan jauh membengkak. Perlu juga dipastikan apakah mau menyewa atau membeli mesin.
Hadar mengambil contoh Filipina sebagai negara yang menggunakan e-voting dalam pemilunya. Filipina menyediakan teknisi dan juga mesin cadangan jika terjadi kerusakan.
Menurut dia, perlu dipikirkan pula dimana mesin-mesin tersebut akan disimpan. Padahal, dengan sistem pemilu tanpa mesin elektronik saja, sudah banyak kejadian kehilangan atau kerusakan logistik kotak atau surat suara.
"Yang seperti ini harus dikaji betul," tuturnya.
Filipina, lanjut dia, karena menerapkan sistem elektronik, maka mengklasterisasi TPS-nya. Jumlah TPS dikurangi dan pemilih di setiap TPS bertambah.