JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Pusat Muhammadiyah mengantisipasi adanya upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satunya, pelemahan melalui rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Hal itu diungkapkan para pimpinan Muhammadiyah saat kajian hukum Revisi Undang-Undang KPK dan Kerjasama Pembentukan Pusat Anti Korupsi pada Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
"Muhammadiyah menganggap perlu melakukan kajian hukum secara mendalam dan mengkritisi rencana perubahan UU KPK, agar dapat memberikan pandangan yang tepat kepada para pembuat kebijakan dan pemegang keputusan," ujar Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqaddas dalam siaran pers yang diterima, Selasa (7/3/2017).
(Baca: Revisi UU KPK Kembali Dimunculkan, Pimpinan DPR Bantah Ada Titipan)
Menurut Busyro, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah melalui Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ditugaskan untuk melakukan kajian mendalam yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya potensi pelemahan KPK melalui revisi UU.
"Kajian hukum lebih baik dan melengkapi gerakan demonstrasi jika kita harus berunjuk rasa juga pada waktunya," kata Busyro.
Selain itu, Ketua Forum Dekan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia Trisno Rahardjo, menyatakan bahwa PP Muhammadiyah cenderung bersikap untuk menolak rencana revisi UU KPK.
(Baca: Kelanjutan Revisi UU KPK, DPR Tunggu Sinyal Presiden)
Dari tahun ke tahun, menurut Trisno, substansi draf revisi UU KPK tidak banyak berubah. Sebagian besar usulan revisi berupaya membatasi dan memangkas wewenang KPK.
Sebagai contoh, menurut Trisno, usulan terkait kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kemudian, usulan pembentukan dewan pengawas KPK.
"Konsepnya KPK adalah biarkan semua diuji oleh pengadilan. Konsekuensinya tidak boleh ada kesalahan dalam proses penegakan hukum. Penyidik berintegritas adalah kunci," kata Trisno.