JAKARTA, KOMPAS - Sepeninggal pioner dalang wayang golek betawi Tizar Purbaya, pementasan wayang golek betawi bisa dibilang tak ada lagi. Tetapi setahun belakangan ini, pementasan itu muncul lagi saat anak Tizar, Reza Purbaya (30), tampil ke panggung.
Dia kini menjadi penjaga terakhir wayang golek betawi. Di tangannya, nasib wayang golek berada.
Reza mengenal wayang golek betawi sejak belia karena kerap ikut serta saat ayahnya mendalang. Pada usia empat tahun, sempat turut serta bersama ayahnya pentas wayang di Jepang, mementaskan wayang golek betawi untuk menghibur anak-anak di sana.
Sejak tahun 2001, ia menjadi pembantu dalang. Lambat laun dia memahami cara memainkan wayang karena sering membantu ayahnya mendalang.
Itu dia jalani sejak usia 24 tahun. Namun demikian, hingga usia 28 tahun, dia belum berani mendalang secara mandiri padahal saat itu ayahnya sudah meninggal dan tidak ada penerusnya.
Dia mengisahkan, pada tahun 2015 pernah ada yang menawari dia tampil menjadi dalang wayang golek betawi tetapi dia tolak. “Saya belum berani menjadi dalang sendiri,” paparnya.
Meskipun secara teknis Reza menguasai pedalangan wayang golek betawi, tetapi mentalnya belum cukup kuat untuk mendalang. Dia merasa susah berbicara di depan orang banyak di depan penonton. Untuk menguatkan mental itu, dia berziarah ke makam ayahnya di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak.
Pada Januari 2016, datang lagi panggilan untuk mendalang. “Dulu bulan Juli tawaran ini ditolak katanya menunggu September. Sekarang sudah Januari, lho, Mas,” kata Reza menirukan ungkapan penelepon yang merayu agar Reza bersedia mendalang.
“Saya langsung iyakan. Pertunjukkan sukses dan saya makin percaya diri. Sebenarnya, saya hanya takut dengan diri sendiri. Sekarang tidak takut lagi,” ungkap Reza yang menganggap masa itu sebagai titik balik dalam hidupnya.
Sejak saat itu, dia selalu siap mendalang. Lakon wayang golek betawi didasarkan pada cerita rakyat seperti Si Manis jembatan Ancol atau Si Jampang Jago Betawi.
Wayang itu dibuat sedemikian rupa dengan mekanik yang tidak terlampau sulit sehingga ketika ditarik talinya, kepalanya pecah.
Contoh lain dalam lakon Si Jampang Jagoan Betawi, terdapat adegan wayang tertembak dan keluar darah. Reza memasang selang di dalam tubuh wayang dan menyambungnya dengan kantong plastik berisi cairan minuman warna merah.
Ketika plastik itu ditekan, cairannya keluar seperti darah sehingga mengesankan wayang golek yang terluka.
Itulah cara Reza membuat pertunjukannya lebih menarik dan atraktif. Cerita yang dia angkat selalu mengandung konflik, pesan moral, sekaligus lelucon untuk menambah unsur hiburan.
Kolektor wayang
Wayang-wayang golek betawi itu dia buat sendiri. Jika dulu ayahnya yang memelopori, kini Reza dibantu Yakub dan Maman dia membuat wayang golek dari kayu dan menjahit pakaiannya sendiri.
Karakternya beragam mulai dari tokoh lokal hingga kompeni Belanda. Di rumahnya juga terdapat ribuan wayang golek, jumlahnya tak kurang dari 5.000 buah.
Disimpan di ruang tamu, ruang makan, hingga kamar tidur. Terkesan seisi rumah dipenuhi wayang golek.
Beberapa di antarnya ia kirim ke berbagai tempat untuk kepentingan promosi. Dia antara lain mengirim ke sebuah museum di Mojokerto. Juga selalu mengirim ke luar negeri. Ini bagian dari cara dia mengenalkan khasanah wayang Indonesia keluar.
Di dalam negeri, Reza aktif mengajar di beberapa sekolah secara temporer. Pria kelahiran 18 Agustus 1987 itu ingin mengenalkan budaya wayang golek betawi kepada siapa saja, terutama generasi muda. Jika kini dia sebagai pejaga terakhir, semoga kelak dia menemukan penerus.
BIODATA
Nama : Reza Purbaya
Lahir : Jakarta 18 Agustus 1987
Ayah : Tizar Purbaya (alm)
Ibu : Diana Purbaya
Istri : Cindy
Anak : Paolo Xavier Purbaya (2,5 tahun), Milan Dimitri Purbaya (1,5 tahun)
Pendidikan : SMU Paskalis Jakarta Pusat