Menurut Haris, Kejaksaan Agung sebenarnya bisa meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM dan melakukan penyidikan dengan memeriksa Wiranto.
"Kalau Jaksa Agung katakan alat bukti tidak ada, memangnya dia sudah melakukan apa? Harap alasan itu dijelaskan ke masyarakat agar tidak menjadi hoax," kata Haris.
Karena merasa ada yang salah dengan kebijakan rekonsiliasi, Kontras pun melaporkan Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman Republik Indonesia.
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani memandang bahwa upaya rekonsiliasi merupakan langkah yang keliru dan melawan asas keadilan publik.
Ismail menuturkan, jika merujuk pada Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, mekanisme non yudisial hanya dibenarkan jika secara teknis hukum sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di pengadilan HAM.
Selain itu menurut Ismail, pilihan rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus TSS diduga terdapat bias politik dan menjadi keputusan yang pragmatis.
Ismail mengatakan, pada saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi, Wiranto memegang komando tertinggi atas TNI dan Polri.
Seharusnya Wiranto dan beberapa pejabat TNI/Polri saat itu dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, secara moral dan politis, penyelesaian kasus TSS tidak bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi.
Ismail pun meminta Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas, sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019.
Presiden Jokowi, lanjut Ismail, pernah berjanji bahwa penyelesaian pelanggaran HAM akan dilakukan setelah proses pengungkapan kebenaran terlebih dulu oleh suatu komite khusus.
Komisi tersebut yang akan menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM masa lalu.
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Aparat keamanan melakukan penembakan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi ke DPR menuntut turunnya Soeharto.
(Baca: Kontras Laporkan Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman)
Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas terkena timah panas aparat. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Pada 13 November 1998 terjadi peristiwa serupa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I. Saat itu mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI dan meminta Presiden untuk segera mengatasi krisis ekonomi.