JAKARTA, KOMPAS.com - Berita penangkapan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (26/1/2017) memunculkan sejumlah kritik terhadap sistem seleksi hakim MK yang dinilai belum berakar pada faktor integritas.
Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar mengatakan, peristiwa penangkapan hakim MK untuk kali kedua tersebut membuktikan buruknya sistem seleksi calon hakim, sehingga faktor integritas belum menjadi perhatian utama.
Menurut Erwin, seringkali pemilihan hakim konstitusi tidak melewati proses seleksi yang sudah ditetapkan dan cenderung bernuansa politis.
Di sisi lain fungsi pengawasan oleh Dewan Etik MK juga tidak berjalan dengan baik.
"Ini membuktikan bahwa sistem seleksi yang buruk linear dengan hasil yang buruk. Sudah ada hakim konstitusi yang ditangkap KPK karena tidak melewati proses seleksi yang seharusnya," ujar Erwin melalui pesan singkat, Kamis (26/1/2017).
(Baca juga: MK Minta Maaf soal Kabar Penangkapan Kasus Suap Hakim Konstitusi)
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI) Benny Sabdo.
Sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi, dia berpendapat bahwa hakim MK seharusnya memiliki integritas, rasa keadilan dan kepribadian yang tidak tercela.
Benny menuturkan, pasca-reformasi, kalangan masyarakat sipil berharap MK menjadi sebuah lembaga yang bisa diandalkan dalam hal penegakan hukum. Namun, harapan tersebut sirna setelah salah satu hakim terjaring operasi tangkap tangan KPK.
"MK sebagai lembaga negara produk Orde Reformasi seharusnya lebih progresif. Kasus tersebut merontokkan citra MK dan merupakan skandal besar dalam sejarah hukum di Indonesia. Perlu keberanian relovusioner untuk mengembalikan nilai hukum dan keadilan," ucap Benny saat dihubungi, Kamis (26/1/2017).
(Baca juga: MK Akan Bentuk Majelis Kehormatan Sikapi Penangkapan Hakim)
Secara terpisah Direktur Penelitian Setara Institute Ismail Hasani menegaskan bahwa DPR dan pemerintah perlu mengkaji dan mengatur lebih detail mengenai penguatan kelembagaan MK.
Ismail melihat saat ini perlu ada pembenahan terkait pengisian jabatan Hakim MK, pengawasan dan standar calon hakim. Selain itu, kata Ismail, regulasi perihal manajemen peradilan MK yang kontributif pada pencegahan praktik korupsi juga perlu disusun.
"Hal tersebut sejalan dengan agenda revisi UU MK. Sebagai lembaga pengawal konstitusi yang berada di garis tepi menjaga kualitas produk UU dan mengadili sengketa antar lembaga negara, prahara suap ini menuntut penyikapan serius dari berbagai pihak," kata Ismail.