Awal 2017 mulai dirasakan dampak pemindahan sebagian urusan pemerintah kabupaten ke provinsi.
Misalnya, pemindahan urusan pendidikan, khususnya SMA dan SMK, membawa persoalan baru dalam hal pemindahan aset, SDM, dan keuangan. Apalagi menyangkut keuangan karena tak semua provinsi sanggup membiayai gajidan tunjangan guru yang ada.
Sementara, di sisi lain, masyarakat mulai khawatir dengan kelangsungan sekolah anak mereka yang tak lagi mendapatkan biaya pendidikan gratis. Ketika kewenangan di bidang pendidikan ini masih berada di kabupaten/kota, biaya pendidikan masih bisa digratiskan.
Namun, sejak dipindahkan karena besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung pemprov, sudah ada perbincangan untuk memungut kembali uang pendidikan kepada siswa SMA dan SMK.
Yang juga bermasalah adalah bidang pertambangan. Urusan pertambangan selama ini belum lancar saat dikelola pemkab/pemkot. Ketika kemudian kewenangan dipindahkan ke pemprov, bermunculan persoalan baru.
Misalnya, terkait izin galian C harus diurus masyarakat ke pemprov, padahal pemkab/pemkot yang lebih memahami keadaan daerahnya. Dampaknya terjadi kerusakan lingkungan tanpa ada tindakan dari pemkab/pemkot yang merasa itu bukan bagian kewenangannya.
Dalam negara kesatuan, kewenangan dan urusan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun, bukan berarti pemerintah pusat ”semena-mena” menentukan kewenangan apalagi dengan cara memusatkan kembali kewenangan itu.
Kecenderungan yang terlihat dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah upaya penguatan peran negara dalam wilayahnya. Caranya dengan memperkuat kembali pemprov sebagai wakil pusat di daerah. Memang tak ada yang salah dengan cara ini.
Namun, idealnya keterlibatan pemerintah ini cukup pada regulasi dan pengawasan dan bukan menjadi pelaksana langsung dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut.
Bahkan, kecenderungan memperkuat kedudukan pemerintah pusat di daerah juga dapat dilihat dari keberadaan instansi vertikal yang masih banyak dijumpai di daerah. Sayangnya, UU ini juga mengabaikan adanya keberagaman daerah dengan potensi daerah yang berbeda-beda.
Padahal, NKRI harus dibangun dengan dasar keberagaman dan menjadi bagian pengejawantahan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu, tidak mengherankan pola yang dilakukan ini memiliki kemiripan dengan praktik otonomi nyata dan bertanggung jawab yang pernah dilaksanakan pada masa rezim Orde Baru.
Desentralisasi asimetris
Kita sepakat negara kesatuan ini adalah bentuk final bagi kelanjutan cita-cita bangsa Indonesia. Meski begitu, tentu ada ruang bagi masyarakat di daerah ikut terlibat seluas mungkin dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Karena itu, pelaksanaan negara kesatuan akan terasa manfaatnya jika yang dikembangkan adalah pelaksanaan prinsip desentralisasi politik, keuangan, dan administrasi.