Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Logika Keliru Otda

Kompas.com - 25/01/2017, 17:23 WIB

Awal 2017 mulai dirasakan dampak pemindahan sebagian urusan pemerintah kabupaten ke provinsi.

Misalnya, pemindahan urusan pendidikan, khususnya SMA dan SMK, membawa persoalan baru dalam hal pemindahan aset, SDM, dan keuangan. Apalagi menyangkut keuangan karena tak semua provinsi sanggup membiayai gajidan tunjangan guru yang ada.

Sementara, di sisi lain, masyarakat mulai khawatir dengan kelangsungan sekolah anak mereka yang tak lagi mendapatkan biaya pendidikan gratis. Ketika kewenangan di bidang pendidikan ini masih berada di kabupaten/kota, biaya pendidikan masih bisa digratiskan.

Namun, sejak dipindahkan karena besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung pemprov, sudah ada perbincangan untuk memungut kembali uang pendidikan kepada siswa SMA dan SMK.

Yang juga bermasalah adalah bidang pertambangan. Urusan pertambangan selama ini belum lancar saat dikelola pemkab/pemkot. Ketika kemudian kewenangan dipindahkan ke pemprov, bermunculan persoalan baru.

Misalnya, terkait izin galian C harus diurus masyarakat ke pemprov, padahal pemkab/pemkot yang lebih memahami keadaan daerahnya. Dampaknya terjadi kerusakan lingkungan tanpa ada tindakan dari pemkab/pemkot yang merasa itu bukan bagian kewenangannya.

Dalam negara kesatuan, kewenangan dan urusan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun, bukan berarti pemerintah pusat ”semena-mena” menentukan kewenangan apalagi dengan cara memusatkan kembali kewenangan itu.

Kecenderungan yang terlihat dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah upaya penguatan peran negara dalam wilayahnya. Caranya dengan memperkuat kembali pemprov sebagai wakil pusat di daerah. Memang tak ada yang salah dengan cara ini.

Namun, idealnya keterlibatan pemerintah ini cukup pada regulasi dan pengawasan dan bukan menjadi pelaksana langsung dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut.

Bahkan, kecenderungan memperkuat kedudukan pemerintah pusat di daerah juga dapat dilihat dari keberadaan instansi vertikal yang masih banyak dijumpai di daerah. Sayangnya, UU ini juga mengabaikan adanya keberagaman daerah dengan potensi daerah yang berbeda-beda.

Padahal, NKRI harus dibangun dengan dasar keberagaman dan menjadi bagian pengejawantahan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu, tidak mengherankan pola yang dilakukan ini memiliki kemiripan dengan praktik otonomi nyata dan bertanggung jawab yang pernah dilaksanakan pada masa rezim Orde Baru.

Desentralisasi asimetris

Kita sepakat negara kesatuan ini adalah bentuk final bagi kelanjutan cita-cita bangsa Indonesia. Meski begitu, tentu ada ruang bagi masyarakat di daerah ikut terlibat seluas mungkin dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Karena itu, pelaksanaan negara kesatuan akan terasa manfaatnya jika yang dikembangkan adalah pelaksanaan prinsip desentralisasi politik, keuangan, dan administrasi.

Sayangnya, pola desentralisasi ini tak lagi seperti itu. Malah yang terlihat keinginan pemerintah pusat melaksanakan negara kesatuan dengan menarik kembali kewenangan/urusan yang sudah dinikmati masyarakat di daerah.

Mestinya kekeliruan itu tak perlu terulang kembali kalau saja hakikat desentralisasi kekuasaan dapat dipahami dengan baik oleh pembuat kebijakan.

Resentralisasi kekuasaan begitu nyata terefleksi dari UU Pemda sekarang ini. Indikasinya, pembagian urusan yang yang justru menempatkan pemerintah pusat sebagai ”pemilik” semua kewenangan dan urusan yang ada.

Paling tidak itu terjadi pada tiga urusan yang diatur dalam UU ini, yaitu urusan absolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

Lalu di mana otonomi daerahnya?

Memang tanggung jawab akhir keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan ada pada pemerintah pusat. Namun, bukan berarti pemerintah pusat melaksanakan semua urusan yang sudah diserahkan ke daerah.

Justru dalam negara Indonesia yang majemuk perlu dibangun kepercayaan kepada daerah untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan negara. Kepercayaan inilah sebenarnya modal utama menjaga keutuhan negara kesatuan ini.

Salah satu wacana menarik dalam pelaksanaan otda beberapa tahun terakhir adalah bagaimana melaksanakan desentralisasi asimetris.

Dalam konsepnya desentralisasi asimetris adalah penyerahan kewenangan dan urusan pemerintahan kepada daerah dengan mengacu kemampuan, kebutuhan dan keunikan daerah.

Kemampuan daerah tentu merujuk pada banyak variabel, seperti SDM, potensi daerah, geografi, sosial, budaya dan bahkan geopolitiknya. Begitu juga kebutuhan daerah sangat bergantung pada keinginan bersama masyarakatnya untuk melaksanakan urusan yang ingin dilaksanakan sesuai kebutuhan mereka.

Sementara keunikan adalah karakteristik yang menjadi identitas daerah yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan otda. Karena dalam realitanya, daerah sangat beragam, perlu pendekatan berbeda untuk membangun apalagi menyatukannya ke dalam bingkai NKRI.

Praktik desentralisasi asimetris ini bukanlah sesuatu yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Misalnya, pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, pelaksanaan kekhususan Jakarta sebagai ibu kota negara, serta UU yang mengatur otonomi khusus Aceh dan Papua.

Desentralisasi asimetris ini akan mempercepat kemajuan daerah dan yang terpenting adalah memperkuat negara kesatuan.

Sungguh mengherankan jika akhir-akhir ini pemerintah pusat lebih memilih menguatkan kewenangannya dengan cara membuat daerah semakin bergantung kepada pusat.

Praktik ini terlihat dengan adanya mekanisme konsultasi yang dilakukan pemda ke Kemendagri. Fenomena ini kian menegaskan bahwa otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuh hati.

Salah satu penyebabnya, belum semua peraturan pelaksana UU No 23/2014 tersedia sehingga pemda tak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Padahal, UU ini mengamanatkan pemerintah menyelesaikan 28 peraturan pemerintah, 3 peraturan presiden, dan 7 peraturan menteri, dua tahun sejak diterbitkan.

Asrinaldi Asril, Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Logika Keliru Otda".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Buka WWF Ke-10 di Bali, Jokowi Singgung 500 Juta Petani Kecil Rentan Kekeringan

Buka WWF Ke-10 di Bali, Jokowi Singgung 500 Juta Petani Kecil Rentan Kekeringan

Nasional
Klarifikasi Harta, KPK Panggil Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta

Klarifikasi Harta, KPK Panggil Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta

Nasional
Kematian Janggal Lettu Eko, Keluarga Surati Panglima TNI hingga Jokowi, Minta Otopsi dan Penyelidikan

Kematian Janggal Lettu Eko, Keluarga Surati Panglima TNI hingga Jokowi, Minta Otopsi dan Penyelidikan

Nasional
Presiden Joko Widodo Perkenalkan Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Hadapan Tamu Internasional WWF Ke-10

Presiden Joko Widodo Perkenalkan Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Hadapan Tamu Internasional WWF Ke-10

Nasional
Hadiri Makan Malam WWF Ke-10, Puan Disambut Hangat Jokowi sebagai Penyelenggara

Hadiri Makan Malam WWF Ke-10, Puan Disambut Hangat Jokowi sebagai Penyelenggara

Nasional
Harkitnas 2024, Jokowi: Mari Bersama Bangkitkan Nasionalisme

Harkitnas 2024, Jokowi: Mari Bersama Bangkitkan Nasionalisme

Nasional
Revisi UU Penyiaran: Demokrasi di Ujung Tanduk

Revisi UU Penyiaran: Demokrasi di Ujung Tanduk

Nasional
Gugat KPK, Sekjen DPR Protes Penyitaan Tas 'Montblanc' Isi Uang Tunai dan Sepeda 'Yeti'

Gugat KPK, Sekjen DPR Protes Penyitaan Tas "Montblanc" Isi Uang Tunai dan Sepeda "Yeti"

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan SYL, KPK Hadirkan Dirjen Perkebunan Kementan Jadi Saksi

Bongkar Dugaan Pemerasan SYL, KPK Hadirkan Dirjen Perkebunan Kementan Jadi Saksi

Nasional
Tiga Menteri Koordinasi untuk Tindak Gim Daring Mengandung Kekerasan

Tiga Menteri Koordinasi untuk Tindak Gim Daring Mengandung Kekerasan

Nasional
Gugat KPK, Indra Iskandar Persoalkan Status Tersangka Korupsi Pengadaan Kelengkapan Rumah Jabatan DPR

Gugat KPK, Indra Iskandar Persoalkan Status Tersangka Korupsi Pengadaan Kelengkapan Rumah Jabatan DPR

Nasional
Momen Presiden Jokowi Jamu Santap Malam dengan Delegasi KTT WWF Ke-10 di GWK

Momen Presiden Jokowi Jamu Santap Malam dengan Delegasi KTT WWF Ke-10 di GWK

Nasional
Sudah Diingatkan Malu kalau Kalah, Anies Tetap Pertimbangkan Serius Pilkada DKI Jakarta

Sudah Diingatkan Malu kalau Kalah, Anies Tetap Pertimbangkan Serius Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Kejanggalan Kematian Prajurit Marinir Lettu Eko Ketika Bertugas di Papua...

Kejanggalan Kematian Prajurit Marinir Lettu Eko Ketika Bertugas di Papua...

Nasional
Gugatan Praperadilan Sekjen DPR Lawan KPK Digelar 27 Mei 2024

Gugatan Praperadilan Sekjen DPR Lawan KPK Digelar 27 Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com