Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Komunikator Publik yang Mengayomi

Kompas.com - 24/01/2017, 18:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

 

Centang perenang kegaduhan imbas komunikasi publik di tanah air, yang pertama mencuat sejak Oktober 2016 lalu, tampaknya belum ada tanda-tanda mereda. Bahkan jika merujuk apa yang terjadi di awal tahun ini, indikasinya malah kian membesar.

Situasi ini sangatlah disayangkan, terlebih fragmentasi yang terjadi kerap disumbangkan prilaku para komunikator publik. Terutama elemen pemerintahan, yang suka tidak suka, melakukan sejumlah praktek komunikasi yang malah menjauhkan dari esensi komunikasi yakni to make common.   

Ini tambah ironis karena esensi fungsi komunikator pemerintahan sebagai pengayom, alias ayah semua elemen bangsa (yang tengah terpecah belah ini) kerap dimentahkan sadar/tidak sadar --alih-alih menjadi penampung semua aspirasi komunikasi semua jenis anak bangsa.

Dalam catatan penulis, sebagaimana mengutip pernyataan anggota DPR Sodik Mudjahid di berbagai media massa mutakhir, yang terbaru adalah kiprah yang dilakukan aparat kepolisian. Perlakuan yang tidak setara kepada para pihak yang bertikai, membuat bara tak cepat redam.

Bahkan afiliasi cenderung dipertontonkan dengan kuat, termasuk menggalang sokongan dari opinion leader sehingga terjadi adu kekuatan wacana di ruang publik, sebagaimana diperlihatkan berbagai media massa dengan intensif.

Dengan menggunakan pendekatan teori jarum hipodermik, masyarakat yang tadinya netral pun, dengan terjangan pesan komunikasi massa yang gencar namun segresial tadi, akan mudah terpolarisasi. Dari diam pun, karena terus dicekoki, akan muncul sikap keberpihakan.

Situasi lebih "keras" diperlihatkan elite politik di Jakarta. Betapa ruang diskusi pun, semisal oleh Presiden Jokowi, relatif dibuka hanya kepada kelompok yang satu asa dan pandang. Ormas yang diajak bicara dan berkomunikasi tidak menyeluruh, notabene yang pro dengan langkah dan pendekatan sang presiden.

Orasi di banyak ruang publik, juga oleh public figure, setali tiga uang. Konten komunikasi tak mengayomi para pihak, cenderung menceritakan keberpihakan dalam wujud menyerang gagasan dari kubu sebelahnya.

Kita, imbasnya, kehilangan sosok komunikator publik pemerintahan yang berusaha merajut simpul perbedaan ekstrim yang nyata muncul sekarang ini. Tiada ayah, bapak bijaksana bagi warga sebagai anaknya, yang berusaha mempertemukan dulu semua dengan niat dan itikad non partisan.

Sedikit banyak, situasi ini meneguhkan premis Coleman dan Hammen (1974) tentang teori hubungan interpersonal dalam komunikasi. Yang mendekati dengan Indonesia kekinian adalah premis model pertukaran sosial.

Bahwa komunikasi ditempatkan sebagai transaksi dagang; Ada ganjaran, ada biaya, ada hasil/laba, serta tingkat perbandingan karena orang berkomunikasi karena hanya berharap sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.

Hal ini sebetulnya normal, namun kurang tepat dalam wajah Indonesia yang cukup retak belakangan ini. Setiap individu, termasuk para komunikator publik tadi, hanya akan sukarela masuk dan tinggal dalam hubungan komunikasi sosial hanya jika hubungan dinilai memuaskan dari sisi ganjaran dan biaya.

Jika biaya (nilai negatif dari komunikasi sosial) dinilai lebih besar dari ganjaran (nilai positif dari hubungan sosial), sekalipun penilaian subyektif, maka tak perlu membuka ruang sekalipun posisisnya sebagai ayah sebuah bangsa.

Apabila tingkat perbandingan yang lama cenderung positif penuh puja-puji dan atau datar, maka cenderung akan hindari sebuah komunikasi sosial yang sangat kontra bahkan dibumbui agitasi.

Ini menjadi tidak ideal, sekali lagi, bagi seorang pemimpin (baca: pengayom) masyarakat. Sebab, sejatinya mereka harus menerapkan premis model peranan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com