Namun, kita pun tak bisa mengatakan intoleransi merebak semata karena orang hidup dalam ruang-ruang yang tersekat satu sama lain. Di sinilah kita perlu melihat bahwa ketakutan terhadap yang lain ini berkembang bukan semata lantaran situasi materialistis penghidupan kita masih didikte jaringan-jaringan primordial. Kita juga berada pada konteks sosial-politik di mana ketakutan terhadap yang lain menjadi imajinasi yang terus-menerus direproduksi lantaran berfaedah dan berimplikasi pada berjangkitnya persepsi kelompok lain sebagai momok menakutkan di ruang-ruang yang lebih luas.
Reproduksi ini terjadi dalam perpolitikan dan, sebagaimana yang kita tahu, ia terjadi seiring politisi atau kanal-kanal kampanyenya mendeklarasikan permusuhannya terhadap momok lain ini untuk mendulang suara cepat. Reproduksi ini terjadi di ruang-ruang khotbah. Pasalnya, tak banyak ide yang lebih ampuh untuk merenggut perhatian pendengar di samping imajinasi umat berada dalam bahaya dan peperangan. Dan, reproduksi ini terjadi di media sosial untuk menuai hal yang sama, perhatian, ditambah dengan acungan jempol serta jumlah pengikut.
Menganyam ruang bersama
Jadi, apakah kesenjangan menyulut kebencian terhadap perbedaan? Ia punya andil, kita bisa pastikan demikian, walau ia tak memengaruhi secara langsung. Apa yang terjadi di berbagai konteks Indonesia adalah situasi berliput ketidakpastian dan tergerusnya sumber-sumber penghidupan lama mengharuskan orang-orang mengandalkan ikatan primordial sebagai jaring pengaman sosialnya.
Meleburnya aktivitas ekonomi dengan identitas primordial, permasalahannya, tak selalu berujung baik. Ia membiasakan orang-orang untuk melihat kelompok primordial lain sebagai ancaman, momok, liyan, dan di sinilah kepelikan ekonomi serta upaya mengatasinya melalui jaringan primordial membuka potensi kebencian terhadap yang lain.
Kita, memang, tak bisa menampik bahwa mobilisasi primordial untuk kepentingan-kepentingan pragmatis pun memperkeruh keadaan; bahwa ketakutan terhadap yang lain mengalami magnifikasinya berkat terus ditanamkan dan diulang keras-keras di sekeliling kita. Namun, saya kira, pemerataan yang disinggung Presiden akan mempunyai dampak yang bisa diharapkan apabila ia dapat memastikan intoleransi tak mempunyai pijakan nyaman di kenyataan sosial. Dengan apa? Dengan memastikan pembangunan ekonomi berfaedah bagi setiap pihak secara adil. Dengan memastikan, favoritisme primordial digerus dalam prosesnya.
Dengan akutnya perkronian di birokrasi serta jaringan primordial yang mengurat akar dalam menentukan hajat penting di kehidupan banyak orang, kita mesti mengakui kita tak bisa melakukannya dalam semalam. Namun, kita perlu melakukannya. Saya tak melihat gagasan Indonesia mempunyai tempat yang pasti di masa depan kalau kita tidak mulai menganyam republik menjadi ruang bersama yang adil.
Geger Riyanto
Esais, Peneliti Sosiologi, Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Kesenjangan Berbuah Intoleransi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.