Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenjangan Berbuah Intoleransi

Kompas.com - 18/01/2017, 21:38 WIB

Oleh: Geger Riyanto 

Intoleransi dan kesenjangan acap disinyalir saling menyuburkan satu sama lain. Apakah pemerataan, yang ditandaskan Joko Widodo menjadi fokus pemerintahannya sejak awal tahun ini, pada hakikatnya mempunyai dampak yang berarti menggerus kebencian antarkelompok, radikalisme, dan kerentanan sosial lainnya?

Sebelum kita lebih jauh mengkajinya, ada baiknya kita mempertanyakan terlebih dahulu dari manakah asumsi tersebut. Asumsi tersebut sudah ada setidaknya sejak awal kemunculan ilmu sosial. Namun, ia belakangan banyak digaungkan dan alasannya sangat wajar.

Kesenjangan, yang bertumbuh secara mencolok beberapa waktu terakhir, secara ganjil dibarengi musim semi ekstremisme. Di satu sisi, di panggung global pemimpin-pemimpin yang mengobarkan kebencian terhadap yang lain tengah naik daun, dan ia dibarengi dengan tren penurunan jatah pendapatan kelas pekerja dibandingkan jatah pendapatan kelas teratas.

Sementara di sisi lain, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) membawa radikalisme religius ke tingkatan baru. Dan, Thomas Piketty—di antara banyak pakar lainnya—dengan tegas mengatakan, kemunculan organisasi ini tak bisa dilepaskan dari ketimpangan. Orang-orang miskin, yang tak berdaya di hadapan monarki Timur Tengah serta rezim privatisasi di Eropa, menemukan harapan untuk memberdayakan dirinya melalui radikalisme.

Kendati populer, asumsi ini menuai kritik-kritik nyaringnya. Banyak di antara pengkritiknya menganggap: adalah hal yang naif untuk mengatakan ketimpangan dengan sendirinya akan menyebabkan intoleransi. Apakah kita akan mengabaikan ajaran serta jaringan kelompok radikal? Bukankah, dengan demikian, kita tidak hanya akan membebaskan para pelakunya dari tanggung jawab, tetapi juga mengesankan usaha pengentasannya sia-sia?

Saya kira, pembelajaran dari beberapa konteks di Indonesia sendiri menyediakan perbandingan yang berharga untuk menguji pikiran-pikiran ini. Baik perspektif yang melekatkan intoleransi dengan kesenjangan maupun yang mengatribusikannya dengan jaringan ekstremis tertentu serta doktrin radikalnya. Keduanya punya keterbatasan untuk mengurai bagaimana intoleransi langgeng dan mengental di Indonesia.

Intoleransi dan ketakutan ekonomi

Kita bisa memulai dengan melihat bahwa di banyak tempat perekonomian sehari-hari para warganya bertumpu pada jaringan primordialnya. Studi-studi yang ada, khususnya yang dilansir Gerry van Klinken dan para kolega, memperlihatkan, akses untuk memperoleh jabatan maupun proyek dari pemerintahan masih sangat ditentukan oleh jaringan berbasis etnis. Reformasi ataupun dorongan akuntabilitas, pada faktanya, belum banyak menyentuh praktik tersebut. Demikian juga yang terjadi di luar pemerintahan. Di kampung-kampung, satu dari sedikit jalan kelompok tak berpunya untuk memperbaiki hajat hidupnya adalah dengan mendekati orang kuat setempat dari komunitas etnisnya.

Identitas yang lebih giat diaktifkan dalam keseharian banyak orang, artinya, adalah identitas primordial. Hal ini mungkin tak menimbulkan permasalahan pada dirinya sendiri. Persoalannya, segregasi ini riskan menjadi lahan meruyaknya kebencian yang diada-adakan terhadap yang lain. Kelompok lain, dengan penghidupan yang sama-sama diwadahi jaringan etnisnya, rentan dilekatkan sebagai sekerumunan orang asing yang dapat merogohkan tangannya ke hak-hak hidup mereka apabila sewaktu-waktu mereka tidak siaga. Dan, seandainya sentimen ini menyeruak, ia tak akan semakin membaik dengan tidak adanya ruang-ruang untuk relasi yang berarti di antara kelompok-kelompok identitas primordial ini.

Kita tahu, konflik-konflik etnoreligius Indonesia antara 1999 dan 2004 tak pernah absen dari apa yang pada saat itu akrab disebut ”kecemburuan kepada pendatang”. Namun, di dua tempat di mana persengketaan ini menunjukkan wajah termorengnya, Ambon serta Maluku Utara, pada awal kedatangannya para migran tak langsung disambut dengan dingin. Salah satu persepsi yang muncul waktu itu adalah kedatangan mereka akan membantu membangun Maluku. Citra baik ini berangsur-angsur tergerus, khususnya setelah mereka mulai lekat dengan ancaman terhadap penghidupan orang setempat. Ia menggapai titik nadirnya setelah transisi politik mendorong adanya pemekaran dan penggantian pejabat yang membuat orang-orang setempat merasa benteng penghidupan terakhir mereka dibobol.

Dan, apabila kita periksa, kapankah konflik etnoreligius maupun retorika-retorika intoleran pernah benar-benar lepas dari ketakutan orang-orang yang ruang hidupnya akan diserobot? Terlepas penyelenggaranya mungkin tak memaksudkannya demikian, teknik-teknik memobilisasi massa dalam unjuk rasa akbar bela agama tempo hari sarat dimuati dengan retorika adanya penjajahan ekonomi oleh etnis tertentu. Terakhir, isu tenaga kerja Tiongkok merebak dan pemerintah harus membuang-buang energi untuk menanganinya. Dari sisi manakah isu ini tak bisa dikatakan beririsan mendalam dengan urusan hajat hidup?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKS: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran

PKS: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Punya PR Besar karena Kemenangannya Dibayangi Kontroversi

Pengamat: Prabowo-Gibran Punya PR Besar karena Kemenangannya Dibayangi Kontroversi

Nasional
Kementerian KP Gandeng Kejagung Implementasikan Tata Kelola Penangkapan dan Budi Daya Lobster 

Kementerian KP Gandeng Kejagung Implementasikan Tata Kelola Penangkapan dan Budi Daya Lobster 

Nasional
Respons Putusan MK, Zulhas: Mari Bersatu Kembali, Kita Akhiri Silang Sengketa

Respons Putusan MK, Zulhas: Mari Bersatu Kembali, Kita Akhiri Silang Sengketa

Nasional
Agenda Prabowo usai Putusan MK: 'Courtesy Call' dengan Menlu Singapura, Bertemu Tim Hukumnya

Agenda Prabowo usai Putusan MK: "Courtesy Call" dengan Menlu Singapura, Bertemu Tim Hukumnya

Nasional
Awali Kunker Hari Ke-2 di Sulbar, Jokowi Tinjau Kantor Gubernur

Awali Kunker Hari Ke-2 di Sulbar, Jokowi Tinjau Kantor Gubernur

Nasional
'MK yang Memulai dengan Putusan 90, Tentu Saja Mereka Pertahankan...'

"MK yang Memulai dengan Putusan 90, Tentu Saja Mereka Pertahankan..."

Nasional
Beda Sikap soal Hak Angket Pemilu: PKB Harap Berlanjut, PKS Menunggu, Nasdem Bilang Tak 'Up to Date'

Beda Sikap soal Hak Angket Pemilu: PKB Harap Berlanjut, PKS Menunggu, Nasdem Bilang Tak "Up to Date"

Nasional
Bima Arya Ditunjuk PAN Jadi Kandidat untuk Pilkada Jabar 2024

Bima Arya Ditunjuk PAN Jadi Kandidat untuk Pilkada Jabar 2024

Nasional
Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Nasional
Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Nasional
Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Nasional
Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Nasional
Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Nasional
KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com