Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa "Ijab Kabul", Pasal Suap terhadap Irman Gusman Dinilai Tak Tepat

Kompas.com - 18/01/2017, 17:34 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Saksi ahli dalam sidang kasus suap yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman, Muzakir, menilai pasal suap tidak dapat disangkakan kepada Irman. Sebab, terdapat syarat dalam delik suap yang tidak terpenuhi.

Menurut Muzakir, delik suap memiliki empat kriteria pokok, yakni adanya penyelenggara negara, pihak yang memberi atau menjanjikan, kesepakatan, dan perbuatan melanggar hukum.

"Yang harus ada dalam pasal-pasal terkait suap adalah terjadinya 'ijab kabul', kesepakatan," kata Muzakir di Pengadilan Tipikor (18/1/2017).

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) itu menyebutkan, suap dapat dikategorikan menjadi dua, yakin suap aktif dilakukan oleh penyelenggara negera yang meminta hadiah atau imbalan.

Sedangkan, suap pasif, lanjut dia, penyelenggara negara diberikan hadiah tanpa adanya janji atau kesepakatan.

"Sehingga lahirnya pasal terkait gratifikasi," ujar Muzakir.

Muzakir menyebutkan, penyelenggara negara memiliki kewajiban melaporkan gratifikasi kepada KPK selama 30 hari.

Namun, setelah menerima bingkusan uang Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istri Xaveriandy, Memi, Irman langsung ditangkap penyidik KPK.

Terkait adanya kesepakatan dalam delik suap, Ketua Majelis Hakim Nawawi Pamulango telah menyatakan Xaveriandy dan Memi terbukti menyuap Irman.

Menurut Nawawi, keduanya terbukti menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta kepada Irman Gusman.

"Mengadili, menyatakan kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan pertama," ujar Ketua Majelis Hakim Nawawi Pamulango saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/1/2017).

(Baca: Suami-Istri Penyuap Irman Gusman Divonis 3 Tahun dan 2,5 Tahun Penjara)

Menurut hakim, dalam persidangan terbukti bahwa uang Rp 100 juta yang diberikan kedua terdakwa adalah fee kepada Irman Gusman. Uang tersebut diberikan atas bantuan Irman yang memengaruhi Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti.

Ini menyebabkan perusahaan Xaveriandy dan Memi mendapat alokasi gula impor dari Perum Bulog.

(Baca: Hakim Anggap Irman Gusman Gunakan Pengaruh untuk Untungkan Orang Lain)

Hakim juga sepakat dengan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menilai bahwa ada kerja sama yang sedemikian rupa antara Xaveriandy dan Memi untuk terjadinya suap kepada Irman Gusman.

Xaveriandy Sutanto, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 50 juta oleh hakim pada pengadilan Tipikor Jakarta. Sementara itu, Memi divonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

Kompas TV Ketua DPD Irman Gusman Jalani Sidang Lanjutan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jadi Pembicara di Forum Ekonomi Qatar, Prabowo Bahas Pembangunan Negara dan Puji Jokowi

Jadi Pembicara di Forum Ekonomi Qatar, Prabowo Bahas Pembangunan Negara dan Puji Jokowi

Nasional
Demokrat: UU Kementerian Negara Belum Revisi Sejak 2008, Padahal Politik Dinamis

Demokrat: UU Kementerian Negara Belum Revisi Sejak 2008, Padahal Politik Dinamis

Nasional
Menyusul Penerapan KRIS, BPJS Tegaskan Belum Ada Penghapusan Kelas dan Iuran Masih Sama

Menyusul Penerapan KRIS, BPJS Tegaskan Belum Ada Penghapusan Kelas dan Iuran Masih Sama

Nasional
Pemerintah Tunda Kewajiban Sertifikasi Halal UMKM hingga 2026

Pemerintah Tunda Kewajiban Sertifikasi Halal UMKM hingga 2026

Nasional
KPK Benarkan JK Bakal Jadi Saksi Meringankan Kasus Eks Dirut PT Pertamina

KPK Benarkan JK Bakal Jadi Saksi Meringankan Kasus Eks Dirut PT Pertamina

Nasional
Buntut Kecelakaan di Subang, Kemenhub dan Polri Cek Massal Kelayakan Bus Pariwisata di 6 Provinsi

Buntut Kecelakaan di Subang, Kemenhub dan Polri Cek Massal Kelayakan Bus Pariwisata di 6 Provinsi

Nasional
'Revisi UU MK Bukan soal Penegakkan Konstitusi, Ini soal Kepentingan Politik Jangka Pendek'

"Revisi UU MK Bukan soal Penegakkan Konstitusi, Ini soal Kepentingan Politik Jangka Pendek"

Nasional
KPK Tahan 2 Tersangka Baru Kasus Subkontraktor Fiktif di BUMN PT Amarta Karya

KPK Tahan 2 Tersangka Baru Kasus Subkontraktor Fiktif di BUMN PT Amarta Karya

Nasional
KPU Jamin Satu Keluarga Tak Akan Pisah TPS pada Pilkada 2024

KPU Jamin Satu Keluarga Tak Akan Pisah TPS pada Pilkada 2024

Nasional
Fraksi PDI-P Usul Presiden Konsultasi dengan DPR soal Jumlah Kementerian, Gerindra: Sangat Tidak Mungkin!

Fraksi PDI-P Usul Presiden Konsultasi dengan DPR soal Jumlah Kementerian, Gerindra: Sangat Tidak Mungkin!

Nasional
Di Sidang Ke-33 CCPCJ Wina, Kepala BNPT Ajukan 3 Pendekatan untuk Tangani Anak Korban Tindak Pidana Terorisme

Di Sidang Ke-33 CCPCJ Wina, Kepala BNPT Ajukan 3 Pendekatan untuk Tangani Anak Korban Tindak Pidana Terorisme

Nasional
KNKT Pastikan PO Bus yang Dipakai SMK Lingga Kencana Depok Tak Berizin

KNKT Pastikan PO Bus yang Dipakai SMK Lingga Kencana Depok Tak Berizin

Nasional
Polri Bidik Pengusaha Bus Jadi Tersangka Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana

Polri Bidik Pengusaha Bus Jadi Tersangka Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana

Nasional
KPU Siapkan TPS Lokasi Khusus untuk Pilkada 2024

KPU Siapkan TPS Lokasi Khusus untuk Pilkada 2024

Nasional
Revisi UU MK, Usul Hakim Konstitusi Minta 'Restu' Tiap 5 Tahun Dianggap Konyol

Revisi UU MK, Usul Hakim Konstitusi Minta "Restu" Tiap 5 Tahun Dianggap Konyol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com