Mengapa tidak berlatih debat dengan matang dan penuh kalkulasi sebelumnya? Mengapa tidak cermat memilih kosakata, sehingga tidak terus membuat masalah baru? Mengapa selalu membidik hal irrelevan alih-alih meluaskan pemikiran?
Padahal, suka tidak suka, ad hominiem justru menjadi hal yang selama ini kerap membikin gaduh ranah jagat maya karena menyerang sisi personal tentulah sangat lebih menusuk perasaan dibandingkan praktik kontra ide yang sehat.
Jangan lupakan pula contoh lain lebih massif tentang kenaikan tarif STNK, yang juga di awal tahun ini. Kiranya ini lebih pantas dijadikan sorotan karena nyata terjadi kesimpang siuran informasi yang membingungkan masyarakat.
Padahal, jika dibandingkan kontestasi Pilkada yang penuh persaingan, alur komunikasi massa seharusnya lebih mudah dikontrol karena hierarkisnya jelas.
Apa konten komunikasi yang disampaikan Presiden Jokowi, adalah apa yang harus disokong para pejabat di bawahnya, bukan malah kemudian menimpakan kesalahan tersebut kepada sang presiden.
Karena itulah, dengan merujuk contoh-contoh tersebut, maka berbagai petuah dan kegelisahan Presiden Jokowi tentang iklim komunikasi hari ini, sesungguhnya (kerap/terkadang) dimentahkan hingga dipatahkan oleh jajarannya, pejabat publik, hingga public figure terkait.
Solusi Masalah
Sebagai akademisi dan praktisi ilmu komunikasi, penulis menawarkan dua solusi inti secara praktis. Pertama, dalam suasana iklim komunikasi genting seperti sekarang, seluruh komunikasi massa, terutama pidato, selalu gunakan metode pidato manuksrip (menggunakan naskah) dan ekstemporer (menjabarkan materi yang terpola).
Ini penting bukan hanya karena acara tersebut intens diliput media massa. Tetapi, bahkan di ruang komunal atau privat sekalipun, inilah era camera branding; Siapapun bisa merekam komunikasi seseorang untuk kemudian disebarkan dengan berbagai intensi-nya.
Kedua jenis pidato tersebut tidak seru, kurang bergelora, apalagi membakar massa. Tapi dalam kondisi semacam saat ini, ini tetap lebih aman dibandingkan metode impromptu (spontan, tanpa persiapan sebelumnya) dan memoriter (menghafal naskah).
Jangan lupakan efek "sihir mic" yang membuat seorang orator kerap berapi-api tak terkendali saat berada di depan podium karena terbakar adrenalin, sehingga kerap membuat praktek komunikasi publik melebar dari sedianya. Di sinilah, slip of tongue (semacam ad hominem) sering terjadi.
Kedua, matangkan dan desainkan seluruh wacana ke ruang publik dengan mantap. Apa saja bahan yang akan dibicarakan, apa saja rilis yang akan disebar, adalah pengetahuan dan konsensus bersama di awal dengan kesamaan persepsi.
Jangan bergerak, apalagi menafsirkan sendirian, karena jelas ini menjadi kontraproduktif dan Indonesia kembali mengalami gaduh tak perlu. Yang dibutuhkan adalah kemampuan memahami teks dan konteks sekaligus, serta merancang cara komunikasinya yang terbaik, dan barulah dilempar ke publik via media massa.
Sebelum ini terjadi, manakala konten komunikasi massa masih mentah, lebih baik menahan diri. Pada hari-hari ini, niat dan keinginan berkomunikasi yang baik dan tulus saja tak cukup, karena proses yang tak matang pun bisa buyarkan niat tadi.
Ketiga, mitigasi resiko komunikasi termasuk siapkan respon terbaik manakala terjadi feedback dari komunikan/publik. Bukan sekedar menyampaikan, bukan sebatas harus transparan, namun apa yang akan muncul dan antisipasinya harus dipikirkan baik.