Jangan kemudian gelagapan, apalagi bereaksi negatif ketika muncul atensi bahkan kritikan dari publik. Sejatinya, pada era talking democracy saat ini, para komunikator takkan bisa mendikte pola yang akan diberikan publik, tapi para komunikator bisa mendikte dirinya agar mampu merancang komunikasi massa yang matang dan penuh kalkukasi.
Terakhir, pola relasi media/publik press agentry (satu arah dan fokusnya ke kuantitas publikasi) semacam ini sungguhlah sudah usang --sebab teorema ini lahir di era Perang Dunia II ketika relasi menuntut demikian.
Maka itu, utamakanlah pola relasi media/publik two ways symmetric yang bersifat dua arah dan bertujuan memperoleh saling pengertian dengan memberi ruang efek-efek yang seimbang. Posisi dan status produsen pesan komunikasi tak lagi dominan.
Two ways juga menekankan siapapun komunikatornya, harus berkomunikasi dengan berbasis praksis hearing dibandingkan telling. Perbanyak mendengar daripada menyampaikan. Karenanya, nilai empati dan tepa salira kepada komunikan menjadi pijakan utamanya, termasuk tentang profesi orang per orang.
Nilai empati dan tepa salira juga terkait dengan mengangkat nilai kebaikan yang meneguhkan satu sama lainnya. Dan, di sisi lain, harus menjauhkan diri mengkomunikasikan hal yang sensitif, berbau intoleransi, dan menyemai bibit perpecahan.
Akhirnya, seperti selalu disampaikan Presiden Jokowi, medium komunikasi publik adalah tempat yang nyata menghasilkan wajah Indonesia cukup retak saat ini.
Namun sekiranya jika mendesain matang komunikasi massa (setidaknya empat poin tadi), serta berperan sebagai ayah bagi semua, maka sangat mungkin kita kembali berada pada era komunikasi publik yang elegan, santun, dan berfaedah. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.