Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Orkestrasi Komunikasi Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 17/01/2017, 14:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Jika dirunut dalam dua bulan terakhir, kegelisahan sekaligus permintaan yang intens dibicarakan Presiden Jokowi di pelbagai kesempatan (formal/informal) adalah penegasan pentingnya kohesi dan kondusivitas kebangsaan terutama di ruang publik bernama media sosial.

Terbaru, dalam ulang tahun ke-18 Partai Keadilan Persatuan Indonesia di Jakarta, Ahad (15/1/2017) lalu, Presiden Jokowi menyoroti hilangnya adab, kesantunan, hingga praksis destruktif komunikasi massa oleh para komunikator di media sosial.

Menurutnya, hal ini penting karena berbagai silang pendapat di platform tersebut sudah kian mengkhawatirkan karena terbukti bisa memutuskan pertemanan, dan jika terus terjadi maka akan meluas dalam skala lebih besar.

Segregasi bangsa, menurut Presiden, telah terjadi terutama oleh berbagai berita bohong dan atau palsu (hoax/fake news). Skala pembicaraan dalam ultah PKPI ini bersifat afirmasi, karena dalam skala lebih formal dan besar, yakni rapat kabinet, telah dua kali dibahas persoalan ini yakni di Istana Negara, Jakarta dan Istana Bogor.

Sebagai pemimpin bangsa, dan sekaligus "ayah" seluruh penduduk negeri ini, perhatian khusus hal ini menggembirakan terutama dalam konteks komunikasi massa. Sebab, dalam era talking hingga mob democracy sekarang ini, siapapun memang tak boleh melupakan apalagi meninggalkan arti penting komunikasi massa.  

Akan tetapi, setidaknya di mata penulis, ada hal yang kurang tuntas terkait kegetiran sekaligus petuah yang kerap disampaikan sang presiden di berbagai tempat.

Dalam telaah praksis komunikasi publik, kekurangan itu adalah ajakan/instruksi kepada para komunikator bangsa, terutama jajarannya dan para pejabat publik petahana agar kian berhati-hati berkata, lebih bijak menyampaikan pikiran, dan sangat ketat menarasikan ide.

Ini penting karena tak bisa selalu serta merta rakyat sebagai komunikator diajak, bahkan cenderung dipaksa (dengan berbagai aturan hingga shock teraphy seperti penetapan tersangka) agar tak memberikan respon tak pantas di media sosial. Seolah kesalahan sepenuhnya di masyarakat.

Akan tetapi, di sisi lain, membiarkan para komunikator dan atau pejabat publik lainnya tak menata komunikasi publiknya dengan baik dan benar, juga menjadi bagian dari problem itu sendiri. Jika hal ini terus dilakukan, jangan salahkan jika muncul anggapan, "Buruk rupa cermin dibelah."

Sebagai sampelnya, yang terbaru dan masih hangat dalam ingatan adalah saat debat Pilkada Jakarta 2017 pada Jumat (13/1/2017) lalu, ketika gubernur petahana (non aktif) Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Sylviana Murni membidik sisi personal Anies Baswedan.

Saat berdebat dengannya, Ahok melakukan aktivitas komunikasi kurang cermat dan irrelevan (seperti terjadi di Kepulauan Seribu) berupa ad hominiem dengan menyerang sisi profesi Anies Baswedan, sesuatu yang tidak ada korelasi erat dengan obrolan kala itu.

Demikian pula dengan Sylviana Murni, yang mendegradasi posisi Anies sebagai eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ini pun dirasa tak perlu, tak relevan, dan sama sekali tidak ada kaitan dengan diseminasi program yang seharusnya diumbar dalam debat tersebut.

Sontak, ini kembali memancing gaduh tak perlu. Tak ada satupun profesi yang merasa tidak baik, tiada pekerjaan yang tak mulia selama itu halal, termasuk tiada kewenangan seseorang menilai rendah tingginya profesi --apalagi dalam konteks Pilkada.

Tanpa disadari, mungkin, masih ada para pihak yang tanpa memikirkan dampaknya membidik "ulu hati" kurang pas yakni pilihan hidup seseorang. Bukan pada substansi perdebatan dengan menawarkan alternatif gagasan sehingga terjadi dialektika yang baik dan benar.

Ditambah posisinya sebagai petahana sekaligus pejabat publik, sejatinya terjadi proses pencontohan pola (imitasi) tanpa sadar. Terutama oleh para pendukungnya, dan umumnya oleh seluruh masyarakat bahwa hal itu wajar-wajar saja. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com