JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) tengah bergulir di DPR. Sepuluh fraksi kini tengah berlomba memperjuangkan kepentingan masing-masing menjelang pemilu 2019.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan diselenggarakan serentak pada tahun tersebut.
Dalam satu-dua hari ini, daftar inventarisasi masalah (DIM) masing-masing fraksi harus sudah terkumpul di Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu.
Adapun suara di parlemen saat ini terbelah. Sejumlah partai bersikeras agar ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tetap ada.
Partai di pihak ini setuju atas usulan pemerintah, yaitu presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Sedangkan di sisi lain, ada yang menginginkan presidential threshold menjadi 0 persen. Alasannya, agar setiap partai politik punya kesempatan mengajukan calon presiden masing-masing dan pilihan semakin beragam.
Tidak hanya itu, partai yang masih menentukan menimbang-nimbang pun ada.
Koalisi ideologis
Lima fraksi di parlemen menganggap angka presidential threshold yang diajikan pemerintah sudah tepat. PDI-P, misalnya, yang secara tegas menginginkan angkanya tetap 20-25 persen.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo menuturkan, sejak awal PDI-P berharap terbentuknya koalisi yang bersifat ideologis, bukan pragmatis dan transaksional. Dengan begitu, jalannya pemerintahan dapat berjalan secara stabil dan efektif.
Tanpa batasan presidential threshold, PDI-P menilai partai-partai politik akan melakukan proses tawar-menawar dan sistem transaksi dengan capresnya. Hal itu, menurut Arif, berdampak pada stabilitas pemerintahan.
"Anda bayangkan, kalau nanti masih 10 partai, mereka punya calon sendiri-sendiri. Katakanlah salah satu menang dan menangnya kebetulan satu putaran. Yang kita bayangkan bagaimana?" tutur Arif saat dihubungi, Minggu (15/1/2017).
Dia menjelaskan, jika salah satu partai menang, maka akan berhadapan dengan sembilan partai lain. Untuk menjaga stabilitas pemerintahan, maka partai itu pun akan melakukan koalisi dengan partai lain.
"Pasti akan terjadi koalisi pada saat pembentukan kabinet. Nah itulah koalisi yang pragmatis yang sampai hari ini selalu berlangsung," ujar Arief.
Hal yang sama diungkap politisi Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman, yang menilai bahwa batasan presidential threshold adalah kewajiban, tidak boleh 0 persen.
Menurut anggota Pansus RUU Pemilu tersebut, perlu ada persyaratan kuantitatif dan hal itu juga diberlakukan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu Kepala Daerah (UU Pilkada).
"Yang harus kita hitung adalah partai politik yang sudah existing sekarang dari pemilu sebelumnya. Artinya pemilu 2014 lalu kita hitung," tutur Rambe.
Alasan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lebih sederhana. Ketua Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini mengatakan, adanya presidential threshold dapat menyederhanakan koalisi parpol dan jumlah pasangan capres-cawapres tak terlalu banyak.
Angka 20-25 persen pun dianggap ideal oleh Fraksi PKS.
"Pasangan capres enggak terlalu banyak, empat sampai lima pasang saja. Rakyat enggak bingung dan pusing," ucap Jazuli.
Alasan Nasdem senada. Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi menilai pilpres akan hiruk pikuk tanpa batasan presidential threshold.
Dia sekaligus mematahkan anggapan sejumlah pihak bahwa semakin sedikit capres maka akan semakin sedikit kemungkinan munculnya presiden ideal.
"Indonesia, negara yang sedang berkembang, partai muncul setiap saat. Itu akan memunculkan (calon) presiden yang terlalu banyak nanti. Jadi harus ada threshold-nya," kata Taufiq.
Adapun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengajukan presidential threshold 25 persen perolehan suara secara nasional dan 30 persen untuk representasi kursi di parlemen.
Alasannya, syarat pencalonan kepala daerah juga diberlakukan pada Pilkada.
"Rasionalitas dari Pilkada. Pilkada boleh diusung oleh partai yang memiliki keterwakilan suara di DPRD, maka berdasarkan itu pilpres 2019 harus diusung oleh partai yang memenuhi suara, partai sendiri atau dengan koalisi sendiri bisa," kata Ketua Fraksi PPP di DPR, Reni Marlinawati.
(Baca juga: KPU Enggan Tanggapi Polemik "Presidential Threshold")
Dianggap demokratis
Adapun empat partai teguh memperjuangkan semangat presidential threshold 0 persen.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria mengatakan, meski Gerindra termasuk dalam kelompok partai besar, namun Gerindra menginginkan agar setiap parpol diberi kesempatan mengajukan kader terbaiknya sebagai capres.
"Kita kan bangsa demokratis. Gerindra memberi kesempatan. Oleh sebab itu Gerindra ingin parliamentary threshold diperkecil, presidential threshold diperkecil bahkan 0 persen," kata Riza.
Sementara itu, PKB berpendapat jalannya pemilu akan lebih menarik jika presidential threshold menjadi 0 persen.
"Konstelasi jadi berbeda ketika 0 persen. Kalau sekarang Golkar dukung calon tertentu, dengan partai seperti Hanura, Nasdem, misalnya. Begitu 0 persen bisa saja berubah," kata Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKB Lukman Edy.
Adapun semangat Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Hanura sama seperti dua partai sebelumnya yang menilai presidential threshold 0 persen cenderung lebih demokratis.
(Baca: Konsekuensi "Presidential Threshold" 0 Persen)
Demokrat belum tentukan
Sedangkan Partai Demokrat, masih menimbang-nimbang mana opsi terbaik yang harus dipilih. Hal itu demi penguatan sistem pemilu di Indonesia.
Masukan dari sejumlah pihak pun ditampung sebelum DIM resmi diserahkan kepada Pansus.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukriyanto menyebutkan, pihaknya tak hanya ingin pelaksanaan pemilu dapat menjadi representasi hak-hak rakyat, namun hasil pemilu ke depannya juga harus memberikan penguatan sistem ketatanegaraan dan memperkuat legitimasi pemilu.
"Kami masih belum menentukan angka berapa yang akan menjadi harapan kami, karena kami masih ingin mengkaji lebih dalam lagi berdasarkan evaluasi pemilu selama ini dan masih ingin mendengarkan masukan berbagai pihak," ucap Didik.