Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/01/2017, 06:57 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun memerintah, Presiden Joko Widodo dinilai belum berhasil membangun konsolidasi demokrasi dengan baik. Ketimpangan demokrasi mengakibatkan situasi politik di penghujung 2016 mencemaskan.

Direktur PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, fenomena menguatnya intoleransi, penyebaran ujaran kebencian dan penyebaran berita hoax merupakan dampak dari ketimpangan demokrasi.

Ketimpangan tersebut bisa dilihat indikator kinerja DPR yang dinilai masih buruk dan korupsi di sektor birokrasi dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Sementara itu, di sisi lain, pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur.

Kebijakan ini menjadi terkesan populis sebab aspirasi politik masyarakat tidak tersalurkan oleh lembaga demokrasi seperti DPR dan partai politik.

"Demokrasi saat ini masih mengalami ketimpangan. Demokrasi dan politik mengalami krisis. Sistem demokrasi yang dibangun selama ini belum sepenuhnya berjalan," ujar Ari dalam sebuah diskusi bertajuk 'Politic Outlook 2017: Janji Berpolitik, Janji Berdemokrasi' di kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/1/2017).

Figur populis

Kristian Erdianto Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo dalam sebuah diskusi bertajuk 'Politic Outlook 2017: Janji Berpolitik, Janji Berdemokrasi' di kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/1/2017).
Gagalnya demokrasi, lanjut Ari, memunculkan satu gejala sosial yang dinamakan post truth. Masyarakat lebih memercayai informasi yang lekat dengan keyakinan pribadi sebagai kebenaran meski informasi yang beredar tidak obyektif dan tanpa pembuktian lebih dulu.

Masyarakat pun beralih kepada figur populis dan ormas keagamaan yang populis ketimbang elite politik. Sayangnya figur-figur populis tersebut anti-demokrasi dan konservatif.

"Elite politik juga menjadi oportunis. Parpol banyak yang tidak jelas bersikap. Akhirnya muncul kepercayaan pada elite ormas agama. Mereka figur yang populis namun konservatif dan anti pada nilai-nilai demokrasi," ungkapnya.

Keadaan ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum. Dalam menjalankan perannya, aparat penegak hukum masih tunduk pada tekanan massa dan parlemen jalanan yang digalang oleh kelompok intoleran.

Ari berpendapat, jika pemerintah ingin memperkuat posisi kekuasaannya, maka Presiden Jokowi harus memprioritaskan konsolidasi demokrasi di 2017. DPR dan partai politik harus menjalankan peran substantifnya dan lembaga non-negara diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Jika konsolidasi demokrasi gagal, akan berakibat pada munculnya banyak figur populis anti-demokrasi yang menarik simpati dan dukungan dari masyarakat.

"Populisme dan konservatisme akan semakin kuat dan memenuhi ruang publik," kata Ari.

Pada kesempatan yang sama, pengamat Etika dan Komunikasi Politik Benny Susetyo berpendapat bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami kematian demokrasi. Kegagalan pemerintah membangun demokrasi menyebabkan munculnya kelompok-kelompok intoleran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com