Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dinasti Politik Abaikan Kaderisasi, Kompetensi, dan Kapasitas

Kompas.com - 05/01/2017, 11:06 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Kurang maksimalnya kaderisasi partai politik untuk melahirkan calon kepala daerah yang baik, membuat praktik dinasti politik masih terjadi.

Ironisnya, kepala daerah yang berasal dari dinasti politik, cenderung memikirkan kekuasaan ketimbang kualitas pelayanan publik.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini kepada Kompas.com, Rabu (4/1/2017).

Titi menanggapi tertangkapnya Bupati Klaten, Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu. Mantan politisi PDI Perjuangan itu merupakan bagian dari dinasti politik.

“Dinasti politik di Indonesia sangat rentan korupsi karena ia hadir mengabaikan kaderisasi, kompetensi, kapasitas dan kemampuan mengelola atau memimpin kekuasaan,” ujarnya.

(Baca: Pengamat: Dinasti Politik Cenderung Korup)

Diakui Titi, biaya untuk kaderisasi tidak lah murah. Di sisi lain, pembiayaan parpol didominasi oleh para elit dan pemilik modal.

Di situ lah pintu masuk berkuasanya para kerabat elit dan pemilik mdal untuk mendapatkan akses saat rekruitmen jabatan publik.

Persoalan yang muncul, menurut dia, yaitu lemahnya keinginan untuk melayani masyarakat.

Pasalnya, kepala daerah yang lahir dari dinasti politik dipaksa hadir untuk sekadar melanggengkan kekuasaan yang ada.

“Maka, orientasinya adalah kuasa bukan pelayanan publik apalagi tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.

Sri Hartini diketahui terpilih sebagai Bupati Klaten saat pemilihan kepala daerah serentak pertama tahun 2015.

Pada dasarnya, Titi mengatakan, pelaksanaan pilkada serentak sudah cukup baik. Keinginan pemerintah untuk menekan biaya politik, yang sering kali menjadi alasan di balik masih banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, sudah terimplementasi. 

Pemerintah pun telah memberikan intervensi melalui metode dan pembatasan belanja kampanye.

“Namun, karena memang sejak awal motivasinya adalah kuasa yang tidak dimbangi kapasitas, maka yang terjadi ya abuse of power dan abuse of budget terus terjadi. Jadi perilaku korupsi mereka merupakan refleksi dari maksud awal mereka ketika merebut kekuasaan dari pilkada,” kata dia.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com