Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Fatwa MUI, Hukum Agama, dan Keberagaman

Kompas.com - 29/12/2016, 18:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Saya sengaja menggunakan istilah hukum aspiratif, karena sifatnya yang masih aspirasi, masih cita-cita, belum terwujud. Saya berpendapat, istilah "hukum aspiratif" itu jauh lebih tepat dibandingkan memakai istilah "hukum negatif" sebagai lawan dari "hukum positif".

Selanjutnya, perbedaan pendapat di atas muncul karena sudut pandang yang tidak sama. Saya memandang dari sisi hukum negara. Dari sisi pandang ini, hukum negara yang sudah berlaku adalah hukum positif (ius constitutum), sedangkan hukum yang belum diberlakukan oleh negara, masih dicita-citakan adalah hukum aspiratif (ius constituendum).

Bahwasanya hukum yang masih dicita-citakan itu sudah hidup dalam masyarakat (living law), dari sisi pandang hukum negara, dia tetap tidak berlaku sebagai hukum positif, dan hanya bisa menjadi bagian dari hukum negara melalui proses legislasi.

Tegasnya, dari sisi negara, bahkan hukum Islam yang sudah hidup dalam masyarakat masih harus melalui proses positivisasi untuk menjadi hukum positif negara dan berlaku mengikat seluruh warga negara Indonesia.

Istilah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) untuk menggambarkan keberadaan hukum Islam dalam masyarakat Indonesia sendiri perlu penjelasan lebih rinci. Hukum yang hidup bisa bermakna dua, yaitu hidup dalam arti berlaku, dan hidup dalam arti berkembang (dinamis).

Jika living law dimaksudkan sebagai hukum yang dipraktikkan di tengah masyarakat, maka hukum Islam sebagaimana hukum agama lainnya adalah sama-sama the living law. Tegasnya, living law adalah juga hukum yang dipratikkan umat agama Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, serta termasuk hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah suku adat yang tersebar di banyak wilayah Tanah Air.

Sedangkan jika living law dimaksudkan sebagai aturan yang dinamis, maka ia sejalan dengan konsep the living constitution yaitu suatu aturan yang sifatnya dinamis, berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Di era Orde Baru, UUD 1945 disebut bersifat singkat dan supel, karena pendek dan dianggap lentur menyesuaikan diri dengan keperluan hidup bernegara.

Padahal, dalam hukum Islam, sependek yang saya pelajari, ada aturan yang sifatnya sudah pasti dan tidak bisa diubah.

Dalam hal ibadah, misalnya ayat Al Qur’an maupun hadits diyakini bersifat qat’i (pasti), sedangkan dalam hal muamalah hukum Islam masih ada yang mempunyai sifat zanni (dinamis).

Kembali ke Fatwa MUI, kalau fatwa itu sifatnya pasti dan jelas, biasanya tidak ada perdebatan, dan karenanya tidak menimbulkan persoalan. Namun, jika terkait dengan fatwa yang zanni, dalam hal muamalah apalagi toleransi dalam beragama, maka tidak jarang menimbulkan pro dan kontra.

Maka, dalam perbedaan demikian, perlu kembali dipahami bahwa Fatwa MUI itu bukan hukum positif. Yang meskipun hidup di tengah masyarakat, keberlakuannya tidak mengikat, serta tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada warga negara.

Pertanyaannya, apakah fatwa soal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), atau atribut maupun ucapan Natal, adalah hukum yang sudah berlaku di tengah masyarakat? Atau, apakah itu fatwa lahir dari dinamika politik bernegara? Karena kalau merupakan respon dari kehidupan bernegara, tidak jarang fatwa agama hasilnya tidak persis serupa. Sebagaimana Fatwa MUI yang mungkin berbeda dengan fatwa ulama Nahdlatul Ulama (Lembaga Bahtsul Masa’il), Muhammadiyah (Majelis Tarjih), ataupun ormas Islam lainnya, ataupun ormas agama lainnya.

Apakah itu berarti saya mengatakan MUI adalah ormas? Tidak juga. Sebagaimana saya paparkan dalam Catatan Kamisan minggu lalu, MUI mempunyai bentuk kelembagaan hukum yang unik. MUI mempunyai sifat organ negara, utamanya karena menjalankan fungsi penerbitan sertifikasi halal—meskipun akan digantikan Badan Halal—dan menarik dana sertifikasi tersebut. Namun, peran sebagai organ negara itu gugur ketika MUI tidak bersedia diperiksa keuangannya oleh lembaga auditor negara (BPK atau BPKP).

Bagi Profesor Tim Lindsey dari Melbourne Law School, MUI adalah lembaga negara setengah LSM, atau dalam konsep di Australia dikenal sebagai QuANGO (Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization).

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan, MUI seakan-akan diposisikan sebagai Ormas, utamanya ketika dalam bagian "Menimbang" Perpres tersebut dirujuk UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013.

Sedangkan, dalam penelusuran saya di Kementerian Hukum dan HAM, MUI justru terdaftar sebagai badan hukum "Perkumpulan" berdasarkan SK AHU-00085.60.10.2014, tertanggal 25 April 2014. Singkat kata, apakah sebenarnya badan hukum kelembagaan MUI, sebenarnya tidak jelas betul.

Ketidakjelasan kelembagaan hukum MUI itu menjadi relevan jika dikaitkan dengan klaim kewenangannya untuk menerbitkan fatwa. Sebagai bayangan, pendapat Mahkamah Agung yang sering juga disebut fatwa, mempunyai dasar hukum yang kuat berdasarkan UU MA.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com