Corak kepemimpinan Gus Dur sebagai pemimpin NU, ketua Partai Kebangkitan Bangsa, dan seorang kiai kerap dilandasi prinsip al-ukhuwah al-islamiyyah (persaudaraan Islam) dan al-ukhuwah insaniyah (persaudaraan manusia), corak kepemimpinan yang kini meluntur dan sulit dicari padanannya pada politikus Indonesia saat ini.
Saya beroleh informasi tersebut dari seorang santri alumnus Pondok Pesantren al-Falah dan al-Musaddadiyah, yang bernama Abdul Mughni Shiddiq.
Mughni, yang saat itu sudah jadi dai, bertemu empat mata dengan Gus Dur. Sebuah kondisi istimewa dan di luar kebiasaan Gus Dur yang kerap dikawal kapan dan di mana saja.
Singkat cerita, obrolan ngalor-ngidul mereka pun sampai pada bagian berikut ini:
"Kamu mau tahu rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatu?" tanya Gus Dur.
"Tentu, Gus, saya ingin tahu rahasia Panjenengan," jawab Mughni takzim.
"Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah 'mata' Allah."
Mendengar Gus Dur berkata begitu, Mughni langsung kelimpungan.
"Waduh.... Bagaimana contohnya, Gus?"
"Begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima mereka semua dengan lapang dada."
"Karena apa? Saya selalu yakin, Allahlah yang menggerakkan hati mereka agar mendatangi saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah."
"Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, melainkan saya melindungi kemanusiaannya."
"Duh...," Mughni kian tak paham.
"Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al Quran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, melainkan Al Quran."
"Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama denganmu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, melainkan agama."