Mendengar jawaban itu, Sjahril hanya manggut-manggut belaka. Ketika tiba di Indonesia, ia menghadap Presiden Abdurrahman Wahid lalu menyampaikan laporannya.
"Bapak Presiden, ketika di Amerika Serikat, saya sempat bertemu dengan Greenspan. Banyak hal yang saya tanyakan padanya, termasuk soal kenapa perekonomian bangsa kita tidak sekokoh bangsa Amerika. Ternyata, menurut Greenspan, kuncinya cuma pada cash, hope, dan wonder, yang tidak kita miliki," kata Sjahril.
Mendengar laporan tersebut, Gus Dur hanya menanggapi enteng, "Ah begitu saja kok repot. Wong kita masih punya banyak Selamet dan Untung di sini."
Bagi yang mengenal Gus Dur dengan baik dari jarak tenggang yang paling harmonis, jawaban itu takkan dinilai sebagai guyonan. Justru di situlah letak keunggulan Gus Dur dalam memimpin bangsa ini.
Untung dan Selamet yang dipinjam Gus Dur sebagai jawaban, tak melulu sebagai kata sifat. Pun mereka yang memang memakainya sebagai nama diri.
Namun, Gus Dur memaknai dua kata itu sebagai jalan hidup. Kata "untung", misalnya, kerap disebut siapa saja di Indonesia bila sedang menghadapi musibah.
Jika seseorang mengalami kecelakaan dan yang terluka parah adalah sekujur badan, orang-orang yang mengenalnya akan berujar, "Untung tak sampai mati."
Kata "selamet" yang berarti aman dari ancaman, gangguan, terbebas dari bahaya, malapetaka, dan bencana dialamatkan Gus Dur sebagai Jalan Keselamatan.
Mudah sekali mencari bukti dari filosofi yang diterapkan Gus Dur ini. Ketika mulai tampil di garda depan perjuangan bangsa dengan memimpin Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur tak pernah satu kali pun memilih jalan perseteruan terhadap Soeharto dan Orde Baru, yang sengit memusuhinya.
Malah Soeharto yang harus bersusah payah mencari cara agar gerak-gerik Gus Dur di kancah politik menjadi muspra atau musnah. Namun, segala intrik tersebut malah membuat Gus Dur kian bijak bestari.
Kebesaran jiwanya tercitra jelas ketika Soeharto wafat pada Ahad, 27 Januari 2008. Sebagai lawan politik terkuat sekaligus paling lembut bagi Soeharto, Gus Dur adalah orang pertama yang datang bertakziah.
Ini berbeda dengan anak turunan Sukarno yang tak seorang pun hadir di Cendana. Hal yang tak jauh beda juga dilakukan Gus Dur yang dijungkalkan Amien Rais dari kursi presiden.
Saat mengikuti kampanye Pilpres 2014 yang disiarkan sebuah stasiun televisi, Gus Dur yang sedang didampingi penderek-nya (pendamping pribadi) sontak menukas.
"Ngapain sampai repot-repot begitu hanya mau jadi presiden saja. Saya ini jadi presiden cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais."
Mata Allah