Hingga akhirnya rekaman pidato Ahok di Kepulauan Seribu tersebar dan kemudian ‘digoreng’ menjadi konten yang dianggap melecehkan agama Islam.
Protes masyarakat kian meluas hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa pernyataan Ahok tersebut merupakan penistaan agama. Ahok dilaporkan pada polisi kendati telah meminta maaf dan menyatakan tidak ada niat untuk menistakan.
Seiring waktu berjalan, pelaporan tersebut tidak kunjung mendapatkan respon yang diharapkan oleh pelapor dan pendukungnya hingga pada akhirnya Aksi Bela Islam 4 November 2016 (411) yang disusul dengan Aksi 2 Desember 2016 (212) itu berlangsung dengan jumlah massa yang diyakini terbesar setelah Tragedi 1998, bahkan konon melebihi jemaah haji di tanah haram.
Bukan hanya Habib Rizieq, aksi ini juga dimotori oleh sejumlah tokoh nasional baik yang berafiliasi dengan kelompok politik maupun tidak.
Sulit untuk dapat menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan aksi yang tidak terkait dengan Pilgub DKI Jakarta sebagaimana yang disampaikan oleh para partisipan semisal Aa Gym.
Walau bagaimanapun, terkait atau tidak, nyatanya kasus penistaan agama tersebut mempengaruhi elektabilitas Ahok secara signifikan.
Setelah memerintahkan Kapolri untuk melaksanakan proses hukum atas laporan tersebut, Jokowi merespon dampak politik aksi tersebut dengan melaksanakan safari politik pada sejumlah organisasi dan tokoh Islam.
Selain itu, sebagai Panglima Tertinggi Jokowi juga memeriksa kesiapan pasukan-pasukan khusus. Dalam suatu kunjungan, kepada pers Jokowi menyampaikan bahwa dalam keadaan darurat pasukan-pasukan tersebut dapat dia gerakkan kapan saja.
Pidato Ahok sebagai gubernur yang menjadi masalah tersebut jika kita lihat dari hirarki politik seharusnya tetap berada di level daerah. Namun nyatanya konstelasi politik daerah ini, langsung maupun tidak, diseret pada level yang lebih tinggi karena mempengaruhi stabilitas daerah-daerah lain di luar Jakarta.
Mengenai hal ini, semoga Jokowi tidak lupa bahwa beliau adalah Presiden Republik Indonesia yang harus berdiri di atas semua golongan meskipun mantan pasangannya yang diusung oleh partainya sedang dalam kondisi sulit yang nyaris tidak bisa keluar dari kepungan masalah.
Menguji Selera Masyarakat
Tidak hanya itu, tiga pasangan calon tersebut juga dapat digunakan sebagai alat untuk menguji preferensi politik yang akan mempengaruhi pemilih. Preferensi yang digunakan di pilgub DKI Jakrta tersebut dianggap layak untuk dijadikan sampel bagi perilaku memilih masyarakat Indonesia pada umumnya.
Agus merupakan representasi calon dengan latar belakang militer. Perolehan suara Agus dapat menjadi alat ukur sejauh mana masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang memiliki latar belakang militer.
Seperti yang kita ketahui bahwa sejarah kekuasaan Indonesia tidak terlepas dari peran militer dalam politik kekuasaan. Preferensi tersebut muncul dan menguat dari warisan 32 tahun orde baru, ditambahkan dengan 10 tahun pada era SBY, yang merupakan ayah kandung Agus Yudhoyono.
Selain itu, Agus Yudhoyono juga mengelaborasi potensi pemilih dengan mengandalkan preferensi usia. Agus Yudhoyono sebagai calon dengan usia termuda diharapkan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat kelompok usia muda yang merupakan mayoritas secara demografis.