JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja kaji ulang penetapan status justice collaborator terhadap mantan anggota DPR RI, Muhammad Nazaruddin.
Sebab, terpidana dalam kasus korupsi dan pencucian uang tersebut mengajukan gugatan atas salah satu asetnya yang dirampas negara.
"Bisa saja gugatan ini malah memengaruhi sikap kami atas permohonan JC yang telah dikabulkan," ujar Jaksa KPK, Moch Takdir, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/11/2016).
Gugatan yang diajukan Nazaruddin diwakili oleh Direktur Utama PT Rajawali Kencana Abadi Sukmawati Rachman di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan diajukan berdasarkan pada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada tanggal 15 Juni 2016, atas nama terdakwa Nazaruddin.
Gugatan diajukan atas salah satu aset Nazaruddin yang diputuskan untuk dirampas. (Baca: Nazaruddin Gugat Perampasan Hartanya)
Dalam putusan perkara tersebut, majelis hakim memerintahkan agar barang bukti nomor 1027 berupa satu unit tanah dan bangunan dengan alamat Jalan Warung Buncit Raya Nomor 21 dan 26 RT 006, RW 03, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, beserta dengan dokumen kepemilikan aset dirampas untuk negara.
"Padahal saat putusan dibacakan, terdakwa sudah menerima dan menunjukkan sikap kooperatif, tetapi sekarang malah mengajukan keberatan," kata Takdir.
Nazaruddin terbukti melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan dan aset yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi.
Selain menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, majelis hakim juga memutuskan sebagian harta milik Nazaruddin dirampas untuk negara.
Jaksa KPK Kresno Anto Wibowo memperkirakan, harta Nazaruddin yang dirampas untuk negara berjumlah sekitar Rp 550 miliar.